Negara Indonesia amat rentan terhadap perubahan iklim. Melansir dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sejak tahun 1981 hingga 2018, terjadi peningkatan suhu sebesar 0,03 Celcius per tahun, disertai kenaikan permukaan air laut sebesar 0,8-1,2 cm per tahun.
Ini merupakan ancaman yang signifikan mengingat 65% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir. Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Hendra Gunawan dalam acara Tematik Bakohumas di Bandung, Kamis (12/9) mengungkapkan saat ini Indonesia berada di peringkat 14 sebagai negara yang rentan terhadap perubahan iklim.
"Kalau kita lihat dari Global Climate Risk Index, ini indeks kerentanan suatu negara terhadap dampak perubahan iklim. Indonesia menduduki peringkat ke-14, jadi negara kita cukup rentan terhadap perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memang sangat rentan terhadap risiko dan dampak perubahan iklim," ujar Hendra.
Baca Juga: Ini Sejumlah Langkah Indofood Dalam Menghadapi Perubahan Iklim
Dalam kapasitasnya, Indonesia saat ini terus menggenjot transisi energi menuju dua target besar yakni enhanced Nationally Determined Contribution (e-NDC), penurunan emisi sebesar 358 juta ton di 2030, dan Net Zero Emisison di tahun 2060. Meski begitu, World Energy Council mengingatkan agar Indonesia dapat menjalankan transisi energi dengan mengedepankan trilema energi, energy security, energy equity, dan keberlanjutan lingkungan.
Menurut Hendra, selain transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan, efisiensi energi juga merupakan langkah penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
"Kita punya amanah untuk menurunkan emisi pada 2030 sebesar 358 juta ton setara karbon. Langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah efisiensi energi dengan target 37%. Jadi, jangan lupakan pentingnya efisiensi energi," kata Hendra.
Potensi Energi Baru Terbarukan di Indonesia
Energi Matahari Potensinya mencapai 3.295 Giga Watt (GW). Sedangkan pemanfaatanya baru 0,25 GW.Potensi hidro mencapai 95 GW, pemanfaatan baru mencapai 6,67 GW. Potensi Bio energi mencapai 57 GW, pemanfaatan baru 3,03 GW. Potensi Angin mencapai 155 GW, pemanfaatan 0,15 GW.Potensi Panas Bumi mencapai 24 GW, Pemanfaatan baru mencapai 2,29 GW. Potensi Laut mencapai 60 GW, pemanfaatanya nihil.
Untuk sebarannya, energi hidro tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kaltara, Aceh, Sumbar, Sumut, dan Papua. Potensi Surya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di NTT, Kalbar, dan Riau memiliki irradiasi lebih tinggi.
Potensi Angin (>6 m/s) terutama terdapat di NTT, Kalsel, Jabar, Sulsel, Aceh dan Papua. Potensi Energi Laut tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama Maluku, NTT, NTB dan Bali. Potensi Panas Bumi tersebar pada kawasan ring of fire, meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.
Dari data di atas, kita dapat mengetahui jika energi matahari atau surya merupakan EBT yang memiliki potensi signifikan di antara EBT lainnya.
Kita tentu ingat ketika Presiden Joko Widodo pada 11 November 2023 meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata. Floating Solar Pv ini menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dan No 3 terbesar di Dunia.
Baca Juga: Jokowi Sindir Negara Maju Tak Berkomitmen Penuh Hadapi Perubahan Iklim
PLTS Terapung Cirata merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN), hasil kolaborasi antara Indonesia melalui subholding PLN Nusantara Powers dan Uni Emirat Arab (UEA) yakni Masdar. Nilai Investasinya mencapai Rp 1,7 triliun.
Ketika beroperasi, sebanyak 50 ribu rumah menikmati energi hijau dari PLTS Cirata. Pembangkit hijau ini menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia dalam komitmennya menjalankan transisi energi.
Mari Masuk Lebih dalam ke Potensi Floating PV di Indonesia
Berdasarkan catatan yang ada, potensi dari permukaan waduk milik Kementerian PUPR untuk pemasangan PLTS terapung mencapai 89,37 GW, dan tersebar di 293 lokasi. Dari jumlah itu, 257 lokasi dengan potensi 14,7 GW merupakan properti milik Kementerian PUPR.
Sebaran waduk tersebut adalah sebagai berikut:
• Jawa-Bali: 9.076,95 MW (114 lokasi)
• Sumatera: 1.967,56 MW (17 lokasi)
• Kalimantan: 690,22 MW (11 lokasi)
• Sulawesi: 1.646,84 MW (15 lokasi)
• Maluku-Nusa Tenggara: 1.320,14 MW (100 lokasi)
Baca Juga: Atasi Perubahan Iklim, Begini Wejangan SBY Buat Prabowo
Sementara itu, potensi di 36 lokasi danau sebesar 74,66 GW terbagi sebagai berikut:
• Jawa-Bali: 641,3 MW (2 lokasi)
• Sumatera: 34.867,9 MW (12 lokasi)
• Kalimantan: 2.437,9 MW (3 lokasi)
• Sulawesi: 24.415,6 MW (6 lokasi)
• Maluku-Papua-Nusa Tenggara: 12.302,4 MW (13 lokasi)
Sisa Galian Tambang Batu Bara Juga Bisa Dimanfaatkan untuk Floating Solar PV
”PLTS Cirata ini hanya baru sebagian kecil dari proyek yang akan dikembangkan di tahun-tahun kedepan. Jadi ini sebagai bukti bahwa Indonesia telah berupaya di masa transisi menuju net zero emission memanfaatkan potensi yang ada di luar energi fosil yaitu potensi air,” kata Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam (ESDA) Lana Saria pada Forum Tematis Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat (Bakohumas) dengan tema "Cirata Mendunia: Membangun Reputasi Global Kejar Target Net Zero Emission", Kamis (15/09/2024).
Lana menyampaikan bahwa sisa galian tambang batu bara juga bisa digunakan sebagai media PLTS Terapung.
”Mudah-mudahan ini bisa diikuti juga oleh sumber-sumber tampungan air yang ada karena di daerah Kalimantan, di daerah Sumatra banyak lahan bekas tambang yang bisa sebenarnya dipotensikan sebagai tadi solar sel, sebagai dudukan solar sel yang sebenarnya beberapa diantaranya dari tambang yang sudah memasuki pasca tambang sudah memanfaatkan itu,” sambung Lana.
Saat ini potensi bekas galian tambang baru ada satu di Indonesia. Itu berada di Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur yang dioperasikan oleh Perusahaan Mega Prima Persada (MPP).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait:
Advertisement