Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) Milton Pakpahan menguak adanya perusahaan biomassa besar di Gorontalo yang memproduksi biomassa untuk keperluan ekspor.
Tindakan tersebut sontak mendapat penolakan keras dari masyarakat lokal. Pasalnya perusahaan tersebut menggunakan lahan bukan hutan yang kemudian di ratakan untuk diolah menjadi biomassa memenuhi kebutuhan ekspor.
”Baru saya pulang dari Gorontalo kemarin, ada masyarakat yang NGO, LSC yang menolak. Ada perusahaan besar biomasa yang export oriented, dia menggunakan lahan yang bukan lahan hutan, dia yang clearing untuk kebutuhan export,” bebernya dalam agenda Seminar Nasional Meti Green Talk di Jakarta, Senin (30/09/2024).
Sayangnya, Milton tidak menjelaskan secara rinci data perusahaan terkait berikut besaran biomassa yang telah diekspor.
Secara umum wilayah Gorontalo terbilang strategis karena berada di wilayah terdepan dengan menghadap ke utara. ”Makanya di situ strategis untuk menjadi biomasa, pusat biomasa, untuk export oriented dan pemakaian untuk di dalam negeri,” lanjutnya.
Baca Juga: Terus Kembangkan Bahan Co-Firing Biomassa, PLN Bersama Kementan Luncurkan Model Pertanian Terpadu
Menariknya potensi biomassa untuk diekspor bisa jadi dikarenakan harga jual yang lebih tinggi dan banyaknya permintaan dari luar negeri dibanding di dalam negeri.
Untuk saat ini harga jual di dalam negeri berdasarkan pada Studi pasar biomassa di Indonesia menunjukkan rentang harga mulai dari Rp186.000 hingga Rp1.500.000 per ton. Selanjutnya Berdasarkan Permen ESDM No. 12 Tahun 2023, Harga Patokan Tertinggi Biomassa adalah 1,2 kali harga batu bara di Indonesia.
Indonesia pun bisa dibilang merupakan negara yang dikaruniai potensi bio energi khususnya biomassa yang sangat besar mencapai 57 Gigawatt (GW). Namun potensi tersebut baru bisa dimanfaatkan sebesar 3,31 mega watt (MW).
Kecilnya permintaan di dalam negeri juga merupakan salah satu hal yang menyebabkan banyak biomassa dilarikan ke luar negeri.
Adapaun secara rinci potensi biomassa Indonesia berasal dari Hutan Energi, potensi pengembangan mencapai 544 juta ton, Limbah Pertanian/Perkebunan sepertai batok/tempurung kelapa 426 ribu ton. Lalu, limbah industri: Sawdust potenti 2,4 juta ton, wood chip 789 ribu ton, cangkang sawit 12,8 juta ton, sekam padi 10 juta, EFB atau tandan kosong kelapa sawit 47 juta ton. Terakhir sampah rumah tangga potensinya 68,5 juta ton.
”Potensinya sebenarnya banyak. Cuma bagaimana mekanismenya, bagaimana keekonomiannya, karena juga menyangkut kos transportasi, portable cheaper, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Baca Juga: Indonesia Bisa Jadi Raja Biomassa Dunia, Asalkan...
”Regulasi yang baik. Perlu inovasi, perlu sinergi, perlu edukasi, ini yang paling penting edukasi, ayo sama-sama kita keliling ke kampus, ke masyarakat, ke DPRD-DPRD, ke pemerintahan kabupaten kota yang baru, baik melalui partai politik yang nantinya menang, kita masukkan informasi mengenai manfaat biomasa dalam transisi energi,” sambungnya.
Untuk diketahui di dalam peta target bauran energi baru terbarukan di tahun 2025 pemerintah menetapkan terget bauran sebesar 23%. Meski begitu total EBT yang termanfaatkan hingga detik ini baru 13,29%, dari total itu bio energi khususnya biomassa menyumbang 65%.
Melansir data dari PLN sampai dengan Triwulan III 2024, PLN melalui subholding Energi Primer Indonesia telah berhasil memanfaatkan biomassa untuk co-firing di 46 PLTU sebesar 3 juta ton. Jumlah ini, bakal ditingkatkan menjadi 10 juta ton di tahun 2025 guna memenuhi kebutuhan biomassa di 52 PLTU milik PLN.
Dengan begitu, kebutuhan biomassa akan terus meningkat seiring berjalan waktu. Maka pengelolaan biomassa dalam negeri amat penting diintegrasikan sehingga kebutuhan dalam negeri tercukupi dibanding dijual ke luar negeri.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement