Cegah Hilirisasi Nikel Dongkrak Emisi, Pakar Dorong Industri Gunakan EBT
“Mengacu skenario pertama, total emisi keempat perusahaan itu akan mencapai 38,5 juta ton, setara 4,5% dari total emisi GRK Indonesia tahun lalu sebesar 861,5 juta ton. Sementara pada skenario kedua, jika ketiga perusahaan mampu mencapai intensitas emisi 28,7 tCO2/tNi seperti Vale, total emisi akan berkurang 43% menjadi 22,3 juta ton CO2 pada 2028,” jelas Ghee.
Ghee Peh mengingatkan, tambahan kapasitas 530 ribu ton pada 2028 akan berdampak signifikan pada lingkungan jika perusahaan nikel masih terus bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Baca Juga: Warisan Besar Jokowi 10 Tahun Pimpin RI, Mulai Whoosh sampai Hilirisasi
“IEEFA memperkirakan dari total kapasitas baru 530 ribu ton, 51% akan berasal dari produksi feronikel beremisi tinggi (sekitar 60 tCO2/tNi), utamanya dilistriki oleh PLTU batu bara. Sisanya, 49% akan berasal dari produksi rendah emisi (sekitar 13 tCO2/tNi) melalui presipitat hidroksida campuran (MHP) dengan proses high-pressure acid leach (HPAL) berbasis zat kimia,” ungkap Ghee.
Beralih ke Energi Terbarukan
Laporan IEEFA menyatakan, intensitas emisi Vale menjadi yang terendah karena tingginya porsi energi terbarukan yang digunakan, yakni mencapai 30,1%, dibandingkan dengan Harita yang hanya 5,3%, MBMA 4,9%, dan Antam 1,2%. Walaupun, Vale masih menggunakan bahan bakar fosil untuk mayoritas smelter dan proses produksinya, sehingga masih menghasilkan emisi.
Selain Vale, hingga saat ini baru Harita yang berencana menggunakan pembangkit listrik energi terbarukan. Harita berencana membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 300 MW pada 2025, yang akan membuat intensitas emisinya setara Vale.
MBMA juga berencana menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) namun tidak merinci kapasitasnya. Sementara Antam baru berencana menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dimilikinya, namun hanya untuk beralih menggunakan listrik dari PT PLN (Persero) dengan sumber pembangkit listrik berbahan bakar gas dan PLTU.
Pemanfaatan energi terbarukan oleh Vale dan Harita menunjukkan bahwa perusahaan nikel Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada PLTU dan memangkas intensitas emisi GRK.
Namun, untuk menurunkan intensitas emisi lebih signifikan, perusahaan nikel Indonesia perlu beralih ke energi air, surya, atau energi terbarukan lainnya.
Baca Juga: Pakar Ungkap Tiga Kunci Ambisi Hilirisasi Prabowo Bisa Optimal
“Perusahaan harus menyeimbangkan manfaat ekonomi dari naiknya ekspor produk hilirisasi nikel dengan dampak lingkungan, dan mengurangi emisi dengan mengganti PLTU dengan energi terbarukan,” tegas Ghee Peh.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement