Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta pengelolaan kelapa sawit tidak digabungkan ke dalam Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), melainkan tetap di bawah naungan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Dalam keterangannya, Ketua Umum APKASINDO, Gulat Manurung, mengaku jika pihaknya mengapresiasi kebijakan peningkatan produksi kakao serta kelapa dengan pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) melalui Perpres 132 Tahun 2024.
Baca Juga: Industri Sawit dan Kakao Tanggapi Diubahnya BPDPKS
"Kami meminta kelapa sawit tidak digabungkan dalam lembaga baru ini, Karena itulah BPDP-KS sebaiknya tetap berdiri untuk mendanai program sawit termasuk petani secara mandiri untuk kepentingan nasional sebagai komoditi Indonesia," katanya melalui keterangannya di Jakarta, dikutip Senin (28/10/2024).
Konsep penggabungan sawit ke tanaman perkebunan lainnya menuru dia sangat tergesa-gesa dalam dua hari jelang pergantian kursi Presiden, tanpa kajian mendalam, serta tanpa melibatkan keterlibatan stakeholder atau pemangku kepentingan sawit dalam perencanaannya. Apalagi, imbuhnya, dengan blending dana sawit menjadi dana bersama tanaman perkebunan lainnya.
Maka dari itu, menurut dia sebaiknya lembaga baru ini menaungi khusus kakao dan kelapa saja. Selain itu, pihaknya juga meminta kepada presiden baru untuk segera meninjau dan mencabut Perpres Nomor 132 Tahun 2024 itu.
"Untuk itu, kami petani sawit bermohon kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut Perpres 132/2024, lalu memberlakukan kembali Perpres yang menaungi BPDPKS,” ucap Gulat.
Pasalnya, terbitnya Perpres 132/2024 itu menimbulkan keresahan bagi petani sawit lantaran menghilangkan peranan BPDPKS. Para petani sawit mengaku resah dan khawatir dengan pengajuan pendanaan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau replanting.
Di sisi lain, dia juga menyoroti bahwa dana yang dihimpun oleh BPDPKS bukanlah dana yang berasal dari pajak atau APBN, melainkan dana yang bersumber dari pungutan ekspor atau levy sawit yang mana petani turut berkontribusi dalam dana gotong royong tersebut.
Baca Juga: NU Kuatkan Sinergi, Kenalkan Santri tentang Kontribusi Sawit untuk Ekonomi
Berdasarkan perhitungan dari pihaknya, tariff pungutan ekspor CPO pada September 2024 mencapai 62 dolar AS per tonnya dirasa telah membebani petani sawit sebesar Rp192/kg dengan asumsi rendemen TBS 20% dan per Oktober ini naik lagi sementara harga TBS petani sawit Rp208/kg TBS.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement