Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jadi Biang Kerok Emisi, IESR Dorong Pemerintah Tetapkan Peta Jalan Pensiun Dini PLTU

Jadi Biang Kerok Emisi, IESR Dorong Pemerintah Tetapkan Peta Jalan Pensiun Dini PLTU Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo | Kredit Foto: IESR
Warta Ekonomi, Jakarta -

Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Pemerintah untuk segera menetapkan peta jalan pensiun dini PLTU batubara. IESR menilai PLTU batubara merupakan kontributor emisi signifikan sehingga strategi pengakhiran dini PLTU batubara akan mempercepat pengurangan emisi.

Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik telah membatasi pembangunan PLTU baru, kecuali di sektor industri dan PLTU yang sudah dalam perencanaan.

Baca Juga: Pertamina Hulu Energi (PHE) Catat Produksi Migas 1,04 Juta Barel/hari di Triwulan III 2024

Analisis IESR menunjukkan agar selaras dengan target pembatasan suhu bumi 1,5 derajat Celcius dalam Persetujuan Paris maka sektor energi perlu mencapai nol emisi pada 2050.

Dengan pertimbangan kapasitas, umur aset, serta kebutuhan energi yang berbeda antara PLTU batubara dalam jaringan PLN (on grid) yang lebih tua, dengan PLTU di luar jaringan (captive) yang lebih muda, maka upaya mitigasi emisi sampai 2050 perlu dikontribusikan dari PLTU batubara on-grid mencapai 68% dan sisanya dari off-grid. 

Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo memaparkan dalam sesi “Unlocking the Indonesia Coal Retirement Roadmap” di Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 (5/11/2024) bahwa pemerintah Indonesia masih berfokus pada pemanfaatan amonia dan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage, CCS) mitigasi emisi PLTU batubara.

Namun Deon menilai strategi tersebut perlu mempertimbangkan potensi kenaikan biaya listrik, keterbatasan kematangan teknologi CCS dalam penyerapan karbon, serta persaingannya dengan kebutuhan lain (ammonia untuk kebutuhan industri).

“Sebagian besar PLTU on-grid saat ini berumur sekitar 20 tahun, sedangkan PLTU captive rata-rata berumur sekitar 10 tahun. Oleh karena itu, strategi intervensi lebih mudah diterapkan pada PLTU on-grid. Berdasarkan analisis kami, strategi pengakhiran dini PLTU batubara untuk on-grid dan captive harus berbeda," jelas Deon.

Baca Juga: Kantongi Nilai Kontrak Rp600 Miliar, PT ASM Dukung Pembagunan PLTU Batang dengan Menerapkan Teknologi Ramah Lingkaran

Untuk PLTU on-grid kata Deon perlu mempertimbangkan kapasitas dan stabilitas listrik (aspek teknis) serta ketersediaan investasi. Sebagian PLTU on-grid bisa dihentikan operasinya, sementara sisanya dioperasikan secara fleksibel.

"Untuk PLTU captive/off-grid yang bisa digantikan energi terbarukan mencapai 26 persen dan sisanya dapat menggunakan bahan bakar bersih sebagai solusi sementara hingga solusi jangka panjang, seperti integrasi dengan jaringan PLN, tersedia,” ungkap Deon.

IESR mendorong pemerintah untuk segera menetapkan peta jalan pengakhiran dini PLTU batubara dengan mempertimbangkan pertama, memastikan komitmen politik dan kepemimpinan kuat yang dipimpin langsung oleh presiden karena pengakhiran PLTU belum pernah diterapkan di Indonesia. 

Baca Juga: Dorong Energi Bersih, Reforestasi Biomassa Jadi Kunci Kurangi Emisi PLTU

kedua, solusi yang beragam untuk memitigasi dan mendistribusi potensi dampak negatif pada berbagai aktor seperti PLN, pemilik PLTU dan pekerja. Ketiga, memperjelas kebutuhan pendanaan dan target PLTU yang memerlukan bantuan dana dari pemerintah Indonesia dan internasional terutama untuk eksekusinya. Keempat, memperkuat kolaborasi antara pemerintah, institusi keuangan, dan swasta untuk menemukan solusi inovatif.

“Penerapan peta jalan pengakhiran dini PLTU dan implementasinya di Indonesia membutuhkan panduan komitmen yang besar, bahkan kepemimpinan tertinggi yakni presiden Republik Indonesia, dapat memberikan penugasan yang jelas agar menjadi prioritas serta dasar kolaborasi antara kementerian terkait dengan aktor utama lainnya,” imbuh Deon.

Menyoal tentang pembiayaan, IESR menganalisis untuk mempercepat transisi energi diperlukan investasi sekitar USD20 - USD40 miliar per tahunnya hingga 2050. Sementara, rata-rata investasi publik untuk energi terbarukan per tahunnya di bawah USD2 miliar dalam periode 2017-2023. Pada 2022, pembiayaan energi terbarukan dari swasta terpantau meningkat di angka Rp26 triliun atau USD1,7 miliar pada 2022.

Putra Maswan, Analis Keuangan dan Ekonomi IESR menyebut bahwa pendanaan publik sangat penting untuk menarik pendanaan swasta yang masih menghadapi risiko tinggi karena transisi energi merupakan pasar baru. Selain itu, ia menambahkan bahwa IESR telah melakukan evaluasi terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 103/2023 sebagai dasar alokasi APBN untuk mendukung pengakhiran operasi PLTU lebih awal.

“Hasilnya, PMK ini dinilai ‘kuat’ dalam aspek hukum, namun berada di kategori ‘sedang’ untuk tata kelola, sumber pendanaan, serta kerangka pemantauan dan evaluasi,” jelas Putra.

Baca Juga: Pemanfaatan Biomassa untuk Co-Firing di PLTU Buka Peluang Ekonomi bagi Masyarakat

Untuk memperjelas tata kelola PMK No. 103/2023, IESR merekomendasikan empat hal. Pertama, peraturan ini harus memberikan panduan jelas terkait implikasi anggaran. Kedua, pemerintah perlu meningkatkan transparansi publik untuk Platform Transisi Energi. Ketiga, pemerintah harus memperkuat kerangka regulasi pasar. Keempat, mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: