Parlemen Uni Eropa mengaku tidak bisa menjelaskan sistem dalam implementasi benchmarking sebagaimana yang disyaratkan dalam European Union Regulation on Deforestation-free Products (EUDR). Sistem tersebut dinilai tak hanya mendiskriminasi industri kelapa sawit saja, melainkan secara general Indonesia berpotensi terdampak oleh regulasi yang diberlakukan oleh negara lain.
Dalam pemaparannya, Duta Besar Indonesia untuk EU, Andri Hadi, mengungkapkan bahwa pemberlakukan benchmarking tersebut berpotensi menuai masalah.
Baca Juga: GAPKI Khawatir Dampak EUDR: Ancaman Bagi Petani Sawit Kecil di Indonesia
“Karena bahkan di suatu negara sendiri, hal itu susah untuk dilakukan dengan system benchmarking yang sama. Sama dengan negara-negara lain, Indonesia itu juga mempunyai wilayah yang berbeda. Tidak bisa benchmarking yang sama dilakukan misalnya pada suatu kebun kopi di Sumatra dan kebun kopi di Nusa Tenggara Timur,” katanya dalam acara Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2024 di Nusa Dua Bali, dikutip Jumat (8/11/24).
Sebagai akibat dari benchmarking ini, kata Hadi, suatu negara dikategorikan sebagai high risk dalam hal deforestasi. Maka, konsekuensinya yakni kemungkinan beberapa negara partner dagangnya di luar Uni Eropa bisa ikut mengambil tindakan yang merugikan negara tersebut.
“Ya memang EUDR itu dari awal memaksakan “one size fit all” (Satu ukuran diberlakukan untuk semua). Sebenarnya dari awal kita sudah minta perundingan untuk menyamakan persepsi tentang aturan deforestasi ini. Tapi UE tetap memaksakan pemberlakuannya dan sekarang ini kita lihat sedang ditunda,” jelas Hadi.
Senada dengan Hadi, professor sekaligus pengamat minyak nabati dari Universitas John Cabot di Roma, Italia, Pietro Paganini menilai jika negara-negara produsen sawit harus mengintensifkan perundingan dengan Uni Eropa dalam semangat kerja sama. Tujuannya adalah menemukan cara terbaik untuk mematuhi peraturan bebas deforestasi tersebut yang penearpannya diperkirakan tak hanya di Eropa saja, melainkan di luar Eropa.
Baca Juga: Bisa Tekan Ekonomi, Minimnya Kesadaran Petani Sawit Soal EUDR
Dalam kesempatan yang sama, Ian Suwarganda selaku penasehat bidang sawit untuk Golden Agri-resources (GAR) mengingatkan bahwa negara-negara lain saat ini nampaknya sedang mempersiapkan aturan yang sama.
“Saya kira negara-negara seperti Amerika Serikat, Cina dan India pun sedang berusaha merumuskan peraturan yang mirip dengan EUDR itu,” jelas Ian.
Sekretaris Jenderal Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (CPOPC) itu mengatakan bahwa pelaksanaan EUDR itu akan pasti berdampak pada negara-negara Asia Tenggara, kecuali Brunai Darussalam.
Baca Juga: Menteri ESDM Tepis Tudingan Amerika Ada Kerja Paksa di Hilirisasi Nikel RI
“Ada 7 komoditas yang terdampak oleh EUDR ini, termasuk sawit, kopi dan karet. Indonesia adalah produsen terbesar sawit di dunia, Vietnam produsen besar kopi, sementara Thailand karet,” ucap Ian.
Dia mengatakan bahwa pemberlakuan EUDR ini tidak hanya akan berdampak pada ekspor Indonesia ke Eropa, tapi juga impor Indonesia dari Eropa.
“Ini karena EUDR itu mensyaratkan bebas deforestasi bagi semua barang komoditi pertanian, Perkebunan dan kehutanan di Eropa, baik barang impor dan ekspor,” katanya.
Baca Juga: Siap Dukung Keberlanjutan, Wamentan Beberkan Strategi Industri Sawit Indonesia
Menurutnya, dengan pemberlakuan EUDR nilai ekspor Indonesia ke Eropa yang terpengaruh akan mencapai US$4.4 miliar dalam berbagai produk pertanian, perkebunan dan kehutanan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement