Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekonomi, Industri, Jasa dan Perdagangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Delima Hasri Azahari, menyatakan bahwa sikap pemerintah RI yang keberatan dengan aturan bebas produk hasil deforestasi yang diterapkan oleh Uni Eropa melalui European Union Deforestation Regulations (EUDR), bukan berarti bahwa Indonesia tidak peduli lingkungan, melainkan tidak mau didikte oleh negara lain.
"Tidak menolak, tetapi kita juga menjaga posisi kita bahwa kita tidak mau didikte oleh kebijakan-kebijakan EUDR," ujar Delima, Senin (11/11/2024).
Baca Juga: EUDR Ancam Industri Minyak Sawit, Bisa Picu Kelangkaan hingga Kenaikan Harga
Menurut dia, Indonesia sudah memiliki komitmen yang cukup kuat dalam mengurangi dampak perubahan iklim dan hal tersebut dibuktikan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) dengan terus melakukan pengurangan emisi karbon (dekarbonisasi).
Konsep hutan dan deforestasi yang dibuat oleh Uni Eropa dalam EUDR, ucapnya, tidaklah sama dengan yang diterapkan oleh Indonesia sehingga hal itu berpotensi membuat produk perkebunan, pertanian, serta peternakan Indonesia masih dalam kategori risiko tinggi (high risk) hasil deforetasi.
"Konsep hutannya sendiri itu tidak sama dengan konsep kita, konsep yang dipakai oleh mereka adalah konsep berdasarkan definisi dari Food and Agriculture Organization (FAO), sementara kita punya definisi kita sendiri," jelasnya.
Maka dari itu, dirinya mendesak pemerintah agar terus meyakinkan Uni Eropa untuk mengadopsi data kehutanan yang ada di Indonesia melalui National Dashboard. Hal ini mengingat kebijakan EUDR bakal memberikan dampak yang cukup besar bagi perekonomian dan pendapatan devisa ekspor.
Adapun EUDR merupakan aturan pengetatan perdagangan yang membatasi produk tujuh komoditas, yakni kelapa sawit, kedelai, sapi, ternak, kopi, kakao, dan karet untuk masuk ke pasar Eropa. Aturan ini mengharuskan para produsen menyertakan uji tuntas yang menyatakan produk yang dibuat bebas dari tindakan deforestasi. Beleid tersebut direncanakan bakal diterapkan oleh Uni Eropa pada akhir 2025 mendatang.
Sebagai informasi, Pemerintah Indonesia sebelumnya menyoroti aturan pembatasan konsumsi produk berisiko hasil penggundulan hutan yang tertuang dalam EUDR yang dianggap diskriminatif dalam pemajuan industri sawit.
Menurut Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Luxembourg, dan Uni Eropa, Andri Hadi dalam Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2024, tolak ukur yang diterapkan oleh Uni Eropa dianggap berpotensi bermasalah lantaran di negara Eropa sendiri, regulasi tersebut sulit untuk diterapkan.
Baca Juga: Tentukan Nasib Industri Sawit, Pakar Prediksi Tiga Skenario EUDR
Hadi mengatakan bahwa sebagai akibat benchmarking yang belum pasti tersebut, suatu negara bisa secara diskriminatif dikategorikan sebagai negara penghasil produk berisiko tinggi dalam melakukan penggundulan hutan, sehingga bisa memicu aturan serupa diterapkan oleh negara lain dengan skema yang sama.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement