Dirinya menganggap bahwa apabila tren kenaikan harga CPO terus berlanjut, maka akan berdampak pada level kompetitif dengan minyak nabati lainnya.
Hal tersebut senada dengan yang disampaikan Julian Mc Gill selaku Managing Director Glenauk Economics. Menurutnya, kenaikan harga CPO merupakan refleksi dari minimnya ketersediaan di pasar. Pasalnya, saat ini CPO sudah termasuk ke dalam minyak nabati premium seperti rapeseed.
Baca Juga: GAPKI: Eropa Bakal Tetap Membutuhkan Sawit
“Perlambatan pertumbuhan lahan perkebunan menyebabkan pasokan minyak sawit menjadi stagnan. Ekspor minyak sawit mencapai puncaknya pada 2019 dan tidak pernah kembali ke level tersebut,” jelas Julian.
Untuk diketahui, pada tahun 2019, ekspor minyak kelapa sawir atawa crude palm oil (CPO) Indonesia mencapai 36,17 juta ton atau setara naik sebesar 4,2% year on year (yoy).
Akan tetapi, dia khawatir apabila tren kenaikan harga CPO terus berlanjut bakal berdampak negatif bagi permintaan kelapa sawit. Berdasarkan catatannya, ekspor soyabean telah mampu melampaui kinerja CPO di posisi 40 juta ton pada tahun 2023.
Tanda-tanda penurunan permintaan terhadap CPO juga sudah terlihat dalam dekade terakhir. Hal itu diungkapkan oleh Managing Director Transgraph Nagaraj Meda.
Minyak kelapa sawit, lanjutnya, pada 2014 memiliki market share mencapai 45% terhadap pasokan minyak nabati dunia, sedangkan pada 2024 jumlah itu tergerus menjadi 37%.
Sebagai contoh pasar India yang menjadi tujuan ekspor utama CPO, antara 2012-2013 membukukan penyerapan 8,24 juta ton naik tipis pada 2023-2024 di posisi 9 juta ton. Di sisi lain, pada 2012-2013 total ekspor soyabean ke India 1,09 juta ton yang telah naik tiga kali lipat menjadi 3,5 juta ton.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement