Aktivis dan Pengamat Bahas Dinasti Politik di Banten, Dorong Perubahan pada Pilkada 2024
Aktivis Muda Banten, Achmad Fanani Rasyidi menilai bahwa politik dinasti di Banten tidak boleh terjadi lagi. Menurutnya, politik dinasti adalah langkah mundur sebuah daerah dalam melakukan pembangunan.
Hal ini seperti yang pernah dirasakan oleh pria yang karib disapa Awe tersebut ketika masih aktif sebagai aktivis Mahasiswa dan pergerakan di Tangerang Selatan.
Banyak gerakan masyarakat sipil sulit melakukan kontrol pembangunan kepada pemerintah negara harus dihadapkan dengan sesama masyarakat sipil lainnya yang cenderung hanya pro pada pemerintah.
"Saya melihat karena waktu itu tekanan di Banten ketika saya masih aktif di aktivis mahasiswa itu, Banten adalah momok yang paling menakutkan itu jawara," kata Fanani dalam podcast Tribunrakyat bertema "Politik Dinasti di Pilkada Banten: Ancaman bagi Demokrasi dan Potensi Kecurangan", Jumat (22/11/2024).
Turut hadir narsum lainnya Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas, dan Founder Nusa Ina Connection Abdullah Kelrey.
Bahkan ketika dirinya bersama dengan masyarakat NGO lain melakukan pendampingan terhadap masyarakat sipil yang berhadapan dengan pemerintah daerah, mereka akan dihadapkan dengan preman dan jawara yang selama ini berkoalisi dengan pemerintah yang sekadar untuk merawat kekuasaan mereka.
Dari upaya pendampingan tersebut, mereka kerap dihadapkan dengan organisasi lain yang melakukan penghadangan dan kontra. Bahkan ia menyatakan ada praktik pembuangan limbah oleh sebuah pabrik kepada kelompok ormas tertentu untuk dibuang ke tempat sembarangan.
"Sekitar tahun 2008-2015, saat saya masih jadi mahasiswa dan melakukan pendampingan. Jadi kalau ditanya soal Banten, saya agak merinding. Karena ingat saat melakukan pembasisan mendampingi kawan-kawan organisasi masyarakat sipil di sana, mereka ketakutan karena takut didatangi jawara," ujarnya.
Situasi buruk semacam itu, bahkan kata Awe, sudah menjadi rahasia umum. Bahkan lebih parahnya, situasi buruk akhirnya dianggap biasa oleh masyarakat karena keengganannya untuk melawan kekuasaan.
"Akhirnya hal-hal yang seharusnya (dinilai) jahat itu dianggap biasa oleh masyarakat di Banten itu," sambungnya.
Ditambah lagi soal ketimpangan sosial dan ekonomi di Banten saat era pemerintahan dinasti politik keluarga Atut saat itu. Awe mengaku sangat miris, bagaimana ketimpangan antar daerah satu dengan yang lainnya di satu provinsi tersebut memiliki gap yang sangat besar.
Baca Juga: Jaga Ekosistem Komunikasi, Telkomsel Siap Ikut Menyukseskan Pilkada 2024
"Sampai di daerah Lebak, kita masih bisa temukan masyarakat anak-anak yang masih buta huruf. Saya sampai merinding bicara soal itu," tuturnya.
Ketimpangan ini menurut Awe bisa dijelaskan dengan bagaimana pembangunan politik di Banten dilakukan dengan basis kekeluargaan. Bagaimana Provinsi Banten dikuasai oleh satu keluarga yang akhirnya mendominasi di berbagai Kabupaten Kota di sana.
"Dengan adanya politik di dinasti politik di Banten sangat berdampak buruk khususnya membangun serikat organisasi pergerakan di Banten cukup sulit. Justru yang paling banyak kita temukan ada gerakan masyarakat sipil yang mendukung pemerintah daerah ketimbang mengkritik," jelasnya.
Oleh sebab itu, ia berharap para pemuda dan aktivis di Banten mulai ikut melakukan penyadaran politik secara meluas, sehingga masyarakat sipil lainnya bisa ikut aktif melakukan perbaikan dan pembangunan di wilayah mereka.
"Saya pengin anak-anak muda di Banten turut aktif membangun demokrasi inklusif, karena Banten itu masih sangat jauh sekali (kesadaran politik dan pembangunan daerahnya -red)," tukas Awe.
Upaya ini menurutnya bisa menjadi langkah yang efektif agar Banten tidak kembali ke masa lama yang dinilai banyak sekali catatan buruknya.
"Kalau waktu Atut dulu ada politik dinasti, ini kultur politik jahiliyah yang banyak sekali mudharatnya. Dengan adanya runtuhnya Atut waktu ditangkap itu mulai kendur tuh, sudah mulai mengarah ke bentuknya oligarki, belum sampai ke demokrasi inklusif. Tapi yang penting jangan sampai kembali ke politik jahiliyah, jangan kita berantem lagi sama jawara gara-gara kita cuma pengin demonstrasi di depan kantor pemerintahan di Banten," tutur Awe.
"Jangan sampai masyarakat sipil itu kegiatannya hanya mendukung pemerintahan Banten saja. Karena banyak kasus krisis lingkungan seperti pencemaran dari limbah-limbah pabrik ini (sepanjang ada politik dinasti di Banten)," sambungnya.
Dalam momentum Pilkada 2024, baik Pilgub dan Pilwakot/Pilbup di Banten, ia berharap masyarakat sadar dan jangan memilih calon yang berasal dari irisan politik dinasti sebelumnya.
"Jangan sampai kita kembali ke era jahiliyahnya Banten. Jangan memilih calon yang pro pada dinasti politik khususnya dinasti politik sebelumnya," ucapnya.
Sementara itu, Founder Nusa Ina Connection Abdullah Kelrey lebih mendorong agar pelaporan yang dilakukan masyarakat Banten terhadap paslon Airin-Ade atas dugaan pelanggaran kampanye di tempat pendidikan dan tempat ibadah segera ditindak lanjuti oleh Bawaslu.
"Bawaslu saatnya harus mendapatkan perhatian yang baik, jangan sampai bawaslu ini cuma digaji oleh negara ya, rakyat gaji tapi kerjanya ga ada," ucap Kelrey.
Dikatakannya, momentum pelaporan ini, diusahakan untuk ditindaklanjuti dan itu harus wajib didorong oleh seluruh rakyat Banten yang peduli dengan demokrasi.
"Mari sama-sama kita dorong agar bawaslu segera mengambil sikap dan menyelesaikan pelaporan tersebut," sambungnya.
Kelrey melanjutkan dinasti politik Banten itu dengan KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), dan ibaratnya adik kakak.
"KKN memang tidak boleh hidup berkembang. Jangankan hidup, jangankan berkembang, jangan sampai ada akar-akarnya di negara yang kita banggakan. Kita bicara demokrasi, tapi satu sisi kita mendukung dinasti politik. Sudahlah itu peninggalan zaman belanda, peninggalan zaman penjajah. Urusan-urusan seperti itu jangan lagi kita hidupkan di era demokrasi ini," kata dia lagi.
Dia pun berpesan kepada masyarakat Banten agar kelompok dinasti politik dengan latar belakang korupsi, kolusi dan nepotisme itu jangan sampai lolos.
"Jadi ini momentumnya, mari kita sadar mari kita memanfaatkan momentum ini untuk bangkit dari dinasti politik dan bangkit dari korupsi kolusi dan nepotisme di Banten," pungkasnya.
Ditempat yang sama Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando eMas mengatakan bahwa dalam membangun kedewasaan demokrasi di sebuah daerah, tidak bisa serta mengandalkan kemauan dari masyarakat, akan tetapi harus ditopang dengan ketegasan dan integritas aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan masyarakat dan semua bentuk pelanggaran yang terjadi.
"Saya harap sekali Bawaslu, Kepolisian yang ada di sana yang tergabung dalam Gakkumdu menindaklanjuti laporan itu, apakah itu bagian dari tindak pidana pemilu dan sanksinya apa, berat ringannya seperti apa, ya silakan putuskan. Kalau ada sanksi pidana ya tetapkan, kalau ada sanksi denda ya tetapkan dendanya," kata Fernando dalam kesempatan yang sama.
Kata dia, jangan sampai masyarakat nantinya enggan lagi melaporkan dugaan pelanggaran pidana gegara aparat penegak hukum tidak merespons atau bahkan tidak menuntaskan kasusnya secara adil dan transparan.
"Kalau tidak ada sanksi yang diberikan oleh penyelenggara pemilu membuat kontestan lainnya akhirnya ingin membuat hal yang sama, akhirnya tidak ada efek jera. Saya harap masyarakat terus mengawasi itu, jangan putus asa ketika laporannya belum ditindaklanjuti," tutupnya.
Lebih lanjut, Fernando juga mengatakan bahwa ada sebuah contoh konkret bagaimana sebuah ketegasan aparat penegak hukum yang tergabung dan Sentra Gakkumdu melakukan langkah konkret dalam menindak dugaan tindak pidana pelanggaran pemilu. Yakni di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara.
Dimana calon Bupati dan Wakil Bupati nomor urut 4, Tammy Wantania dan Jekmon Amisi ditetapkan sebagai tersangka oleh Satreskrim Polres Talaud karena melakukan dugaan tindak pidana Pemilu.
"Ada pembelajaran kemarin di salah satu Kabupaten di Sulut, pasangan calon bupati/wabup ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian karena melanggar UU pilkada, karena melibatkan aparatur dalam kampanye mereka," tandas Fernando.
Sebagai pengamat dan peneliti politik, tentu langkah yang diambil oleh aparat penegak hukum di Kabupaten Talaud patut diapresiasi dan harus dicontoh oleh daerah lain, termasuk di lingkungan Provinsi Banten.
"Saya mengapresiasi apa yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dan Bawaslu di sana. Dan saya berharap sekali Polisi dan Bawaslu di Provinsi Banten akan melakukan hal yang sama," tukasnya.
"Jadi ada proses dari tindak lanjut masyarakat terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kontestan pilkada, supaya masyarakat tidak apatis, tidak pesimis ketika ada pelanggaran mereka akhirnya abai kalau tidak ada tindak lanjut dari pemantau pemilu, Bawaslu ataupun Gakkumdu, pihak Kepolisian," pungkasnya.
Untuk diketahui, Airin Dilaporkan Dugaan Pelanggaran Pemilu. Sebelumnya diberitakan, Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi, dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Banten, terkait dugaan pelanggaran kampanye di tempat ibadah dan pendidikan.
Laporan itu dilakukan oleh salah satu warga Serang, Dekardo Manalu pada hari Kamis 31 Oktober 2024.
"Saya melaporkan tentang dugaan tindak pidana Pilkada pasangan Airin - Ade," kata Dekardo.
Pasal yang dijeratkan kepada Airin dan Ade tersebut adalah Pasal 57 ayat 1 Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024. Selain itu, ada Pasal 65 ayat 1 huruf d yang menyatakan larangan pemasangan atribut atau alat peraga kampanye di tempat pendidikan.
"Kami menilai kampanye di area Ponpes Ashabul Maimanah ini bukan cuma soal pelanggaran aturan, tapi lebih ke hal yang sifatnya mendasar. Ini bisa membahayakan persatuan kesatuan warga masyarakat, juga jelas ini contoh yang buruk dalam berpolitik," jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement