- Home
- /
- Kabar Sawit
- /
- Energi
Dari Limbah ke Energi: PASPI Ungkap Prospek dan Tantangan Biodiesel Berbasis Minyak Jelantah
Salah satu isu penting yang saat ini tengah digencarkan oleh pemerintah adalah kemandirian energi atau swasembada energi. Hal tersebut penting mengingat dalam bidang energi, kebutuhan BBM Indonesia masih 50% bergantung pada impor sehingga berisiko tinggi bagi perekonomian.
Kondisi tersebut membuat pemerintah harus memutar otak untuk mencari solusi di tengah isu kemandirian energi, impor, maupun bahan bakar terbarukan agar manusia tidak terus menerus ‘zalim’ kepada alam.
Baca Juga: Selain Biodiesel dari Sawit, Peneliti BRIN Ini Kembangkan Inovasi BBN dari Kelapa
Maka dari itu, pengembangan kemandirian energi di masa depan direncanakan beralih dari energi berbasis fossil fuel menjadi sumber energi terbarukan atau renewable resources. Kebijakan tersebut lantas diimplementasikan melalui kebijakan pemerintah tentang Biodiesel yang sifatnya mandatori.
Untuk memenuhi kebutuhan biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit (CPO), isu yang bergulir saat ini adalah BBN (bahan bakar nabati) bisa dikembangkan dengan cara memanfaatkan minyak goreng bekas alias jelantah (waste frying oil).
Jelantah tersebut nantinya bakal dicampur (blending) untuk menghasilkan biodiesel. Inovasi tersebut diinisiasi oleh Pusat Biokilang (biorefinery) Universitas Kobe, Jepang. Saat ini, Jepang yang bekerja sama dengan Bioenergi Corporation sukses mengembangkan pabrik percontohan skala kecil pengolahan minyak goreng bekas jelantah yang berkapasitas 200 liter per hari dengan uji coba penerapannya berlokasi di Tsuna, Pulau Awaji, Prefektur Hyogo.
Pabrik tersebut tercatat menghasilkan 90% biodiesel dengan 10% sisanya merupakan produk sampingan gliserin.
Lembaga kajian Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) mengungkapkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki material dasar yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan BBN ini. seperti beragam jenis biomassa dan potensi mikroba lokal yang melimpah.
Berdasarkan catatan dari PASPI, pembangunan pabrik percontohan di Indonesia ini dilakukan dalam sebuah proyek bernama Proyek Innovative Bio Production in Indonesia LIPI (iBiol).
Terkait dengan proyek tersebut, PASPI menjabarkan beberapa tantangan maupun kendala yang akan dihadapi. Di antaranya adalah:
Ketersediaan Jelantah Dinilai Masih Belum Memadai
Terkait industri energi, minyak jelantah ini dinilai masih belum tersedia dalam jumlah yang memadai sebagai input.
Apabila diasumsikan sebagai barang bekas, jelantah diketahui masih diperjual belikan pada segmen pasar tertentu. Di sisi lain dari segi kesehatan, ada anjuran untuk tidak memakai minyak berulang kali, masih belum memengaruhi segmen maupun kebiasaan dari masyarakat Indonesia itu sendiri, khususnya dalam ranah rumah tangga.
Baca Juga: Industri Kelapa Sawit Dituntut Makin Adaptif Hadapi Revolusi Industri di Indonesia
“Maka, asumsi yang menyatakan bahwa minyak goreng bekas tidak bernilai ekonomi dan dipandang tidak bernilai, adalah tidak sepenuhnya benar. Jika asumsi itu benar, maka minyak jelantah ini memang sangat layak untuk dimanfaatkan dan bukan untuk food (makanan) melainkan untuk energy (non food),” tulis PASPI, dikutip Senin (16/12/2024).
Lebih lanjut, proporsi terbesar konsumsi minyak curah atau non-branded sebanyak 70% mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia masih belum aware dan peka terhadap beberapa aspek minyak goreng, khususnya dari sisi kualitas produk.
“Pola kebiasaan masyarakat menggunakan minyak goreng secara berulang-ulang masih sangat umum dijumpai hingga habis. Dengan demikian, ketersediaan (availability) minyak goreng bekas merupakan salah satu tantangan dalam keberlanjutan pemanfaatan minyak goreng bekas ini,” ungkap tim riset dari PASPI.
Baca Juga: Geopolitik Memanas, Harga Minyak Dunia Meroket dalam Sepekan
Diketahui bahwa nilai CPO jauh lebih murah dibandingkan dengan minyak goreng bekas alias jelantah ini. apabila tujuan pemanfaatan limbah ini semata-mata dilakukan sebagai bahan campuran untuk biodiesel, tutur lembaga kajian tersebut, maka penggunaan minyak jelantah jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga CPO itu sendiri sebagai bahan baku utamanya.
“Selain itu jelantah juga tersedia dalam jumlah yang sedikit,” imbuh PASPI.
Butuh Edukasi Mutlak
Salah satu faktor yang mutlak diperlukan untuk memberikan pemahaman langsung bagi masyarakat tentang penggunaan minyak goreng, utamanya dari segi kesehatan adalah melalui proses edukasi. Tujuannya agar masyarakat tidak menggunakan minyak goreng secara berulang.
Penggunaan minyak goreng secara berulang dan tidak diganti dalam jangka waktu yang lama ini bisa membahayakan kesehatan karena mengandung senyawa berbahaya dan dapat merusak gizi makanan itu sendiri.
Kendala Collecting
Ketika proses edukasi sudah dilaksanakan dan hal tersebut berhasil baik dalam jangka pendek maupun menengah, maka kendala berikutnya yang disorot oleh PASPI adalah proses pengumpulan minyak goreng bekas (collecting) baik dari rumah tangga maupun hotel, bahkan restoran besar.
Oleh sebab itu, PASPI berharap jika kebijakan pemanfaatan jelantah untuk biodiesel atau BBN bakal berdampak pada perubahan pola perilaku konsumsi minyak goreng di Indonesia yang mengutamakan kualitas produk sekaligus mendorong ketersediaan minyak jelantah sebagai produk sisa.
Baca Juga: Gozco Plantations Perkuat Bisnis Sawit Lewat Transaksi Afiliasi Rp370 Miliar
“Dengan demikian, dukungan kebijakan ini bisa menjadi sebuah kebijakan yang sinergis bagi pegembangan biodiesel dari minyak jelantah di masa mendatang,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement