Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dinilai Dapat Membahayakan Demokrasi dan HAM di Indonesia, Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional Mendapat Kritik

Dinilai Dapat Membahayakan Demokrasi dan HAM di Indonesia, Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional Mendapat Kritik Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Untuk memperkuat kebijakan pertahanan negara, Presiden Prabowo Subianto membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN) pada 16 desember 2024. Pada momentum yang sama, presiden juga melantik Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsuddin sebagai Ketua Harian Dewan Pertahanan Nasional.

Pembentukan DPN sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2002 yang mengatur tentang Dewan Pertahanan Nasional. Di dalam undang-undang tersebut, fungsi DPN adalah sebagai lembaga penasihat presiden dalam merumuskan kebijakan pertahanan. 

Sementara itu, dalam Pasal 15 UU Pertahanan disebutkan “Dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara, Presiden dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional”. Menurut pasal tersebut, DPN berfungsi hanya sebatas penasihat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan komponen pertahanan serta bertugas untuk menelaah, menilai, dan menyusun kebijakan terpadu di bidang pertahanan.

Namun demikian, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, berdasarkan Perpres Dewan Pertahanan Nasional (DPNa) kewenangannya menjadi sangat luas dan multi multi-interpretatif yakni, “DPN juga memiliki fungsi pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden” sebagaimana disebut dalam Pasal 3 huruf F Perpres.

Baca Juga: Belasan Gerakan Masyarakat Sipil Kritik Bagaimana Proses Dibangunnya PSN

Koalisi memandang, penambahan wewenang ini tidak sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Selain itu, penambahan wewenang yang luas untuk melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Presiden sesungguhnya bersifat karet sehingga dapat menimbulkan multi interpretasi. 

Luasnya kewenangan Dewan Pertahanan Nasional memiliki potensi penyalahgunaan wewenang yang tinggi. Dengan kewenangan yang luas dan multi interpretasi tersebut, maka DPN berpotensi menjadi lembaga superbody yang akan membahayakan kehidupan demokrasi dan HAM. Dengan kewenangan multitafsir itu, DPN potensial disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Koalisi mengingatkan bahwa pada masa Orde Baru terdapat lembaga serupa yang memiliki kewenangan luas seperti Dewan Pertahanan Nasional, yakni Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang pada praktiknya menjadi lembaga yang melindungi kekuasaan otoriter Orde Baru dan melakukan berbagai kekerasan serta pelanggaran HAM.

Baca Juga: Masa Transisi Kebijakan Pupuk Baru Perlu Dikawal Kesiapan Infrastruktur Jadi Kunci Keberhasilan Penyederhanaan Distribusi Pupuk Subsidi

“Kami menilai, pembentukan lembaga baru seperti Dewan Pertahanan Nasional harus selaras dengan aturan perundang-undangan yang ada dan didasarkan pada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dewan Pertahanan Nasional tidak boleh diberikan kewenangan yang melampaui pengaturan dalam undang-undang. Selain itu, Perpres terkait DPN juga tidak secara tegas mengakomodir keterwakilan pakar/ahli dan masyarakat sipil di dalam lembaga tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (4) perpres tentang DPN,” ujar perwakilan Koalisi, Koordinator BEM SI, Satria dalam diskusi di Tebet Dalam, Jakarta, Kamis (19/12/2024).

“Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional harus benar-benar ditujukan untuk kepentingan pertahanan negara, memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, bukan untuk kepentingan politik kekuasaan. Untuk itu, perlu dihindari pengaturan terkait Dewan Pertahanan Nasional yang bersifat karet dan berpotensi disalahgunakan,” tambahnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: