Mendorong Pertumbuhan Inklusif Lewat Inovasi, Industrialisasi, dan Transisi Energi
Kredit Foto: Istimewa
Universitas Paramadina kembali menggelar forum diskusi bertajuk “Meet The Leaders” pada 19 Juli 2023 dengan tema “Driving Inclusive Growth: Innovation, Industrialization and Energy for Job Creation”.
Acara ini menghadirkan Arsjad Rasjid sebagai narasumber utama, dengan sambutan dari Prof. Didik J. Rachbini, Ph.D., serta dipandu oleh Wijayanto Samirin, MPP.
Dalam pemaparannya, Arsjad Rasjid menyoroti dinamika global yang kian memengaruhi kondisi ekonomi nasional. Perang Rusia-Ukraina, konflik di Timur Tengah, hingga “Trump Effect” disebut sebagai pemicu ketidakpastian ekonomi global. Bahkan negara seperti Tiongkok yang sebelumnya mengalami pertumbuhan pesat, kini menunjukkan perlambatan.
Dampaknya bagi Indonesia cukup terasa. Salah satu indikatornya adalah pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka sekitar 4,7 persen, sementara daya beli masyarakat terus melemah. "Masyarakat bisa dikatakan tidak punya uang saat ini. Karena itu daya beli turun," kata Arsjad.
Arsjad juga menekankan bahwa isu lapangan pekerjaan kini menjadi tantangan utama bangsa. Meski angka tingkat pengangguran terbuka menurun ke 4,7 persen, jumlah pengangguran secara absolut justru meningkat menjadi lebih dari 7,28 juta orang.
Lebih lanjut, sekitar 60% tenaga kerja di Indonesia masih bergantung pada sektor informal. Ini mengindikasikan rendahnya kualitas dan keberlanjutan pekerjaan yang tersedia. “Kalau tidak ada pendapatan dari berdagang atau bekerja, maka ekonomi tidak akan tumbuh,” katanya.
Lapangan kerja yang sehat sangat bergantung pada masuknya investasi. Namun Arsjad mencatat, investasi yang datang ke Indonesia umumnya bersifat capital-intensive (padat modal) bukan labour-intensive (padat karya), sehingga tidak mampu menciptakan banyak pekerjaan. Selain itu, proses investasi masih dihambat berbagai kendala seperti persoalan lahan, perizinan, hingga pungutan liar.
Fenomena "brain drain" atau migrasi tenaga kerja terampil ke luar negeri juga disebut sebagai konsekuensi dari minimnya peluang kerja dan rendahnya upah di dalam negeri. Profesi seperti perawat, insinyur, dan ahli IT lebih memilih bekerja di luar negeri dengan penghasilan 5-8 kali lipat lebih tinggi dan akses karier yang lebih jelas.
Bonus demografi yang selama ini digadang-gadang sebagai aset pembangunan justru bisa menjadi bencana jika tidak dikelola dengan baik. Dengan 70% penduduk dalam usia produktif, Indonesia memerlukan terobosan nyata agar angka tersebut tidak berubah menjadi beban sosial.
Arsjad mengusulkan sebuah pendekatan strategis melalui kerangka 3G untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan:
1. Grow People – Membangun Talenta Global
Mengembangkan sumber daya manusia Indonesia sebagai talenta global yang mampu berinovasi, memimpin, dan bekerja di sektor-sektor strategis. Ia menyoroti rendahnya kualitas pendidikan: hanya sekitar 10% angkatan kerja merupakan lulusan S1, sementara sisanya adalah lulusan SMA, bahkan SMP dan SD. Selain itu, skor IQ nasional yang menurun juga menjadi perhatian.
2. Gear Up Industry – Mendorong Reindustrialisasi
Strategi ini berfokus pada hilirisasi sumber daya mineral dan pengembangan manufaktur bernilai tambah untuk menciptakan lapangan kerja. Arsjad menyarankan agar industri diperluas ke luar Jawa, serta melibatkan UMKM dalam rantai produksi agar pertumbuhan tidak terpusat.
3. Go Green – Transisi Energi sebagai Peluang
Transisi ke energi hijau dilihat sebagai potensi ekonomi baru. Langkah konkret yang perlu dilakukan antara lain re-skilling bagi pekerja di sektor padat emisi, mendorong pembiayaan hijau untuk UMKM, serta memberdayakan masyarakat lokal dalam proyek-proyek energi terbarukan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement