Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketua Apkasindo Desak Kemendag Kaji Ulang Kebijakan Pembatasan Ekspor Residu Sawit

Ketua Apkasindo Desak Kemendag Kaji Ulang Kebijakan Pembatasan Ekspor Residu Sawit Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mengkaji ulang kebijakan pembatasan ekspor limbah pabrik kelapa sawit seperti Palm Oil Mill Effluent (POME); minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO); dan residu minyak sawit asam tinggi atau High Acid Palm Oil Residu (HAPOR). 

Gulat menilai jika kebijakan tersebut akan merugikan Indonesia lantaran mengurangi penerimaan negara sekaligus merugikan petani.

Kemendag, ucap Gulat, semestinya tidak perlu repot-repot dalam membatasi ekspor UCO, POME, dan HAPOR. Pasalnya, hal tersebut bisa membantu negara dalam meningkatkan pendapatan untuk mendukung berbagai program strategis dari Presiden Prabowo.

Baca Juga: APKASINDO: 17 Juta Petani Sawit Dukung Kebijakan Presiden Prabowo

“Seharusnya yang jadi masalah jika produk CPO Indonesia atau produk sampingannya (residu CPO) gak ada yang beli, baru repot. Ini kok, banyak permintaan dari negara lain malahan dibatasi, paling tidak 160 negara adalah pembutuh minyak sawit Indonesia, Ada apa ini?” kata Gulat dalam keterangannya, dikutip Sabtu (11/1/2025).

Tingginya permintaan minyak jelantah, POME serta residu sawit lainnya, menurut Gulat adalah peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan penjualan ekspor.

“Kalau ada yang dicurigai eksportir mencampur minyak goreng murni dengan minyak jelantah supaya dikategorikan dalam persetujuan ekspor minyak jelantah, ya kan mudah saja, tinggal diuji setiap mau diekspor apakah benar minyak jelantah atau dicampur dengan minyak goreng murni, kalau memang nakal, ya langsung pidanakan dengan denda berlipat ganda,” jelasnya.

Dirinya juga mempertanyakan kebutuhan domestik terhadap residu sawit dan minyak jelantah tersebut. apabila dalam bentuk CPO, maka hal itu tidak mengapa menurut Gulat. Pihaknya malah mendorong hilirisasi dalam negeri serta mendukung program biodiesel.

Gulat juga menanggapi terkait statement tersebut bagi para petani sawit. Dia mengaku jika para petani tidak masalah jika diekspor dalam bentuk residu POME, HAPOR, maupun UCO.

Pasalnya, sambung Gulat, ekspor tersebut, terlepas dari cara mengolah brondolan untuk asam tinggi, dianggap bisa menambah pemasukan negara, pemasukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), serta menguntungkan petani lantaran ada alternative pasar yang terbuka bagi mereka untuk menjual hasil panennya.

“Dan, persaingan mendapatkan bahan baku PKS ini akan mendongkrak harga TBS petani,” ujar Gulat.

Selain itu, pihaknya juga mengakui jika hulunisasi Indonesia berjalan lamban dengan berbagai akibat yang melatarbelakanginya sehingga tidak sejalan dengan kebutuhan domestik dan global. Padahal, jika hulunisasi dikebut, maka ini adalah momentum bagi Indonesia untuk memanfaatkan sebaik-baiknya.

Melorotnya produktivitas sawit Indonesia pun menurut Gulat terjadi akibat persoalan di sektor hulu yang berkepanjangan.

“Kita jangan membiarkan ini terlampau lama, kita harus berlari untuk mengejar ketertinggalan hulunisasi sebagaimana arahan Bapak Presiden saat Musrembangnas RPJMN 2025-2029 (30/12/2024) yang diselenggarakan Kementerian PPN/BAPPENAS,” sebutnya.

Baca Juga: IPB Dukung Ekspansi Lahan Sawit Prabowo, Ubah Hutan Rusak Jadi Lahan Produktif

Lebih lanjut, dirinya juga mengingatkan bahwa seharusnya tugas Kemendag yakni memuluskan proses perdagangan. 

“Dan saat ini agak bergeser perannya saya lihat. Sepertinya, Kemendag sudah berubah fungsi,” imbuhnya.

Bergesernya peran Kemendag menurut Gulat tersebut akan berdampak secara tidak langsung pada petani sawit sehingga menekan neraca perdagangan ekspor serta mengurangi pemasukan negara dari ekspor. Tentunya hal tersebut bisa dibilang cukup fatal.

Pihaknya pun menampik asumsi Mendag yang mengatakan ada modus pengusaha ekspor dengan cara membusukkan tandan buah segar (TBS) sawit menjadi brondolan dan menghasilkan CPO asam tinggi untuk produk non-pangan. Padahal, bagi para petani, tegas Gulat, yang penting yakni ada pasarnya.

“Bagi kami petani itu adalah peluang sepanjang protas kita tinggi cukup untuk domestik,” ungkapnya.

Dirinya pun mengingatkan jika sebenarnya para petani sawit memiliki pola pikir sederhana yang mana jika ada pabrik sawit dengan harga bagus, maka disitulah petani bisa menjual hasil panennya. Hal ini juga berlaku bagi petani sawit swadaya.

“Sedangkan, beda cerita dengan petani plasma/bermitra yang wajib menjual TBS-nya ke pabrik sawit Inti,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Fajar Sulaiman

Advertisement

Bagikan Artikel: