Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sampaikan Outlook Hukum dan Ekonomi 2025, IKADIN Bahas Tantangan Kepastian Hukum dan Realita Pertumbuhan Ekonomi

Sampaikan Outlook Hukum dan Ekonomi 2025, IKADIN Bahas Tantangan Kepastian Hukum dan Realita Pertumbuhan Ekonomi Kredit Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dalam pidato sambutannya pada acara Kamar Dagang Indonesia (KADIN) pada 17 Januari 2025, Presiden Prabowo optimis menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 8 persen per tahun.

Pertanyaannya, realistiskah ambisi tersebut? IKADIN percaya bahwa reformasi hukum (baca: kepastian hukum) merupakan keniscayaan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Pendek kata, tanpa adanya kepastian hukum, pertumbuhan ekonomi (baca investasi) sulit akan terwujud.

Dalam mendiskusikan hal tersebut, IKADIN mengundang sejumlah narasumber dalam Outlook Hukum dan Ekonomi 2025, antara lain:

  • Dr. Maqdir Ismail, SH. LL.M. (Ketua Umum DPP IKADIN);
  • Ajib Hamdani (Analis Ekonomi APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia).
  • Berly Martawardaya, PhD (Direktur Riset INDEF dan dosen FE UI).

Maqdir Ismail mempresentasikan Ketidakpastian Hukum sebagai Ancaman Pembangunan. Ia  mengambil contoh penegakan hukum korupsi di sektor perkebunan. Maqdir berpendapat bahwa terdapat paradok dalam penegakan hukum di sektor lingkungan dengan memberikan sejumlah kasus.

Pendek kata, ketidakpastian hukum muncul karena pada satu sisi negara menerima penerimaan pajak oleh pengusaha perkebunan, namun pada sisi lain negara mempidana para pengusaha yang mempunyai masalah administratif yang sebenarnya diakibatkan kelalaian negara dalam mempercepat perijinan usaha.

Pada sisi lain, penegakan hukum hanya berfokus pada soal kerugian negara (Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor) dibandingkan kepada melihat problem utama tata kelola di sektor perkebunan. Pendekatan penegakan hukum yang berfokus kepada kerugian negara membuat semacam ada kompetensi penegak hukum dalam mencari kerugian negara. Padahal ada perubahan regulasi di mana upaya administratif seharusnya lebih didahulukan sebagaimana yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Penegakan hukum yang lebih menekankan kepada pemidanaan ini akan mengancam pertumbuhan ekonomi.

Ajib Hamdani, analis ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), mempresentasikan Tantangan Investasi di Indonesia. Ada tiga faktor tantangan investasi di Indonesia: biaya tinggi, produktivitas rendah, serta birokrasi dan perizinan rumit.

Pertama, soal biaya tinggi. Biaya logistik Indonesia mencapai 23% dari PDB, lebih tinggi dari negara ASEAN lainnya. Selain itu, suku bunga pinjaman di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara2 ASEAN. Suku bunga pinjaman Indonesia berkisar 8-14%, jauh lebih tinggi dibandingkan negara2 ASEAN (4-6%).

Kedua, kualitas tenaga kerja. Hanya 26,56% pengusaha yang puas dengan kualitas tenaga kerja yang tersedia di Indonesia.

Ketiga, regulasi perijinan membuat ketidakpastian bisnis. Terjadi disharmoni antara pusat dan daerah.

Ajib juga memberikan sejumlah rekomendasi terhadap kepastian hukum: Pertama, harmonisasi regulasi; Kedua, penegakan hukum; Ketiga, layanan terpadu; dan Keempat, Regulatory Impact Assesment (RIA).

Narasumber terakhir, Berly Martawardaya, Direktur Riset INDEF dan juga pengajar FE-UI, mempresentasikan Tantangan dan Outlook Ekonomi Indonesia 2025: Konsolidasi di Tengah Ketidakpastian. Menurut Berly, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 hanya stagnan di angka 5 persen, dipengaruhi oleh:

  • Kondisi global yang masih belum memberikan kepastian pasca terpilihnya Presiden Donald Trump dan belum meredanya konflik geo-politik.
  • Permintaan Tiongkok masih menunjukan tren melemah di tahun depan.
  • Belum adanya stimulus cepat serta insentif untuk memperbaiki daya beli dan kondisi industri.
  • Masih menjadi tahun penyesuaian dan koordinasi lintas kementrian dan pemangku kebijakan terkait.

Catatan dan rekomendasi kebijakan:

  • Ekonomi belum pulih pasca pandemi.
  • Terdapat uncertainty dalam peta geo-politik global seperti dalam kasus Trump, Ukraina, dan Gaza, yang berimplikasi pada eksport yang rendah, investasi yang rendah, dan adanya inflasi.
  • Perlu konsolidasi dan koordinasi pemerintah.
  • Kesenjangan, lingkungan, dan green industrialization: social protection, stimulus, dan konservasi.
  • Transisi dari oligarki ke institusi ekonomi dan politik yang inklusif.
  • Pertumbuhan yang tinggi dan sustainable: dampak jangka menengah.

Sebagai kesimpulan terakhir, Pertama, pertumbuhan ekonomi mustahil akan mencapai 8 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 5 persen tahun 2025. Kedua, kepastian hukum mempunyai korelasi erat dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Tanpa adanya kepastian hukum, pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi ilusi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: