Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Serikat Pekerja Desak Kemenkes Tepati Janji dalam Pembahasan Kebijakan Kemasan Rokok Polos

Serikat Pekerja Desak Kemenkes Tepati Janji dalam Pembahasan Kebijakan Kemasan Rokok Polos Kredit Foto: Antara/Yusuf Nugroho/wsj
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wacana kemasan polos pada produk rokok yang diusulkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2024 (PP 28/2024) mendapatkan tanggapan dari serikat pekerja.

Mereka menilai bahwa kebijakan ini dapat berdampak pada industri rokok yang berpotensi mempengaruhi sektor tenaga kerja. Selain itu, terdapat pandangan bahwa proses penyusunan kebijakan ini perlu lebih melibatkan pihak-pihak yang terdampak langsung, termasuk tenaga kerja di industri rokok.

Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) menyatakan bahwa kebijakan kemasan rokok polos ini dapat memengaruhi sektor tenaga kerja, terutama mereka yang bergantung pada industri tembakau. Menurut mereka, kebijakan tersebut perlu mempertimbangkan keseimbangan dengan program pemerintah yang berfokus pada penciptaan lapangan pekerjaan.

"Wacana kemasan polos ini perlu dikaji lebih lanjut agar sejalan dengan program pemerintah. Kami berharap pemerintah dapat memberikan kepastian terhadap hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak," ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP RTMM SPSI, Sudarto AS.

Baca Juga: Pakar Hukum Menilai Wacana Penyeragaman Kemasan Rokok Jadi Tindakan Pembangkangan Konstitusi

Serikat pekerja juga menyampaikan harapan agar diskusi terkait kebijakan kemasan rokok polos lebih terbuka bagi seluruh pemangku kepentingan. Sudarto menegaskan bahwa meskipun FSP RTMM SPSI telah menyampaikan aspirasi buruh dalam berbagai kesempatan, mereka masih berharap adanya komunikasi yang lebih intensif dengan pemerintah.

Hal ini menjadi perhatian setelah Kemenkes sebelumnya menyatakan akan melibatkan pihak terkait dalam proses perumusan kebijakan. "Terkait RPP Kesehatan, Kemenkes memang telah membuat kesepakatan tertulis untuk melibatkan kami, termasuk kami memonitor dan bertanya perkembangannya, namun belum ada progres dan informasi lebih lanjut yang dapat kami ketahui,," ungkapnya.

Mengingat kondisi ini, ia menekankan bahwa IHT merupakan salah satu sektor yang menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak anggota serikat pekerja. Saat ini, lebih dari 95% pasar rokok di Indonesia adalah rokok kretek, yang melibatkan banyak tenaga kerja dalam proses produksinya. Oleh karena itu, Sudarto menyatakan pihaknya akan terus menyuarakan aspirasi pekerja agar kepentingan mereka tetap diperhatikan.

"Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan industri padat karya yang memiliki peran dalam perekonomian nasional dan perlu mendapat perhatian dalam kebijakan pemerintah," ujarnya.

Baca Juga: Peredaran Rokok Polos Capai 95,44 Persen, Negara Disebut Boncos Rp97,81 Triliun!

Mengutip data Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), penyeragaman kemasan rokok diperkirakan dapat mengubah pola konsumsi yang berpotensi menurunkan permintaan terhadap rokok legal sebesar 42,09%. Beberapa dampak yang mungkin terjadi jika peraturan ini diterapkan adalah peningkatan pemalsuan produk serta peredaran rokok ilegal, yang saat ini juga menjadi perhatian pemerintah.

Selain itu, dari sisi penerimaan negara, diperkirakan potensi kerugian ekonomi mencapai Rp182,2 triliun, dengan penurunan penerimaan perpajakan sebesar Rp95,6 triliun jika kebijakan ini diterapkan dan rokok ilegal meningkat. Dampak lainnya adalah potensi berkurangnya lapangan kerja akibat tekanan pada industri resmi.

Selain berpengaruh pada sektor tenaga kerja, kebijakan kemasan rokok polos juga menimbulkan diskusi terkait hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Merek merupakan identitas perusahaan, dan berbagai industri, termasuk industri tembakau, telah berinvestasi dalam pengembangan merek mereka.

Sebelum PP 28/2024, industri hasil tembakau (IHT) telah diatur oleh berbagai regulasi. Berdasarkan data, sebanyak 400 peraturan (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) terkait cukai hasil tembakau, dan 5 (1,12 persen) regulasi yang mengakomodasi aspek ekonomi dan kesejahteraan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: