Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Revisi UU BUMN Dinilai Lemahkan BPK dan Permudah Privatisasi Aset Negara

Revisi UU BUMN Dinilai Lemahkan BPK dan Permudah Privatisasi Aset Negara Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Bandung -

Revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang baru disahkan dinilai memberikan dampak positif sekaligus negatif.

Dampak paling mencolok adalah semakin kuatnya posisi Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Namun, di sisi lain, revisi UU BUMN juga memunculkan sejumlah potensi permasalahan yang dapat melemahkan transparansi dan pengawasan keuangan negara.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, mengatakan, revisi berisiko melemahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam mengaudit keuangan BUMN. Hal tersebut karena revisi mengalihkan audit ke akuntan publik yang hanya terdaftar di BPK.

"Audit bukan diperiksa langsung BPK. Perubahan ini membuka celah potensi manipulasi laporan keuangan, terutama mengingat BPI Danantara mengelola kekayaan negara dalam jumlah triliunan rupiah," ujar Iskandar dalam keterangan tertulisnya, Jumat, (21/2/2024)

Iskandar juga menyoroti dampak lain revisi UU BUMN, yakni meningkatnya risiko privatisasi yang tidak transparan. Dengan adanya fleksibilitas lebih dalam privatisasi BUMN, terdapat potensi penjualan aset negara dengan harga rendah kepada pihak tertentu.

"Privatisasi juga bisa membuat keuntungan BUMN tidak lagi masuk sebagai pendapatan negara karena definisi keuangan negara dalam UU BUMN bertabrakan dengan UU lainnya. Ini berpotensi hanya menguntungkan segelintir pemilik saham atau entitas di BPI Danantara," ungkap Iskandar 

Baca Juga: Soal Danantara, Maruarar Sirait: Saya Tahu, tapi Saya Tak Boleh Umumkan 

Selain itu, pemisahan peran regulator dan operator dalam pengelolaan BUMN juga dikhawatirkan memperburuk tata kelola. Dengan Kementerian BUMN hanya berfungsi sebagai regulator, sementara operasional BUMN dikendalikan oleh BPI Danantara, maka akuntabilitas berisiko menjadi lemah.

Revisi UU BUMN juga memberikan perlindungan hukum yang lebih besar kepada direksi dan komisaris BUMN melalui mekanisme business judgment rule. Dengan aturan ini, direksi dan komisaris tidak dapat dituntut secara hukum selama keputusan bisnis diambil dengan itikad baik.

"Hal ini bisa digunakan untuk menghindari tanggung jawab atas kebijakan bisnis yang merugikan negara. Perlindungan seperti ini terlalu berlebihan dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Seharusnya ada keseimbangan antara perlindungan dan akuntabilitas," kata Iskandar.

Lebih jauh, Iskandar menyoroti bahwa revisi UU BUMN juga berpotensi melemahkan kontrol pemerintah terhadap aset negara. Dengan dialihkannya pengelolaan aset ke sistem berbasis investasi, negara dapat kehilangan kendali langsung atas aset strategisnya.

"Keputusan investasi bisa lebih menguntungkan investor dibandingkan negara, karena BPI Danantara bertanggung jawab langsung kepada Presiden, bukan kepada publik atau parlemen. Hal ini menimbulkan risiko keputusan yang tidak diawasi secara demokratis," tegasnya.

Menurutnya, revisi ini juga berpotensi mengurangi status uang negara dalam UU BUMN, yang bisa menimbulkan kerugian besar. Sebab, dalam UU Keuangan Negara disebutkan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan tetap dianggap sebagai keuangan negara. Namun, revisi UU BUMN justru menempatkan modal BUMN sebagai aset korporasi.

Berdasarkan analisis IAW, revisi UU BUMN memiliki beberapa konsekuensi serius, di antaranya; pelemahan pengawasan negara akibat terbatasnya peran BPK dalam mengaudit keuangan BUMN, BPI Danantara menjadi entitas sulit diawasi karena kendali aset besar tanpa pengawasan langsung dari negara, Potensi konflik hukum antara UU BUMN dan UU Keuangan Negara yang dapat mengganggu kinerja instrumen negara dan Risiko meningkatnya kerugian negara jika mekanisme pengelolaan investasi BPI Danantara tidak transparan.

Baca Juga: Pandu Sjahrir Merapat ke Istana Jelang Peluncuran Danantara, Spekulasi Kian Menguat

"Pemerintah dan DPR seharusnya melakukan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif sebelum mengesahkan revisi UU BUMN ini. Tidak ada jaminan bahwa pengelolaan keuangan negara yang dipisahkan dari pengawasan BPK akan menjadikan BPI Danantara lebih profesional," tegas Iskandar.

Untuk memperkuat argumennya, Iskandar mengingatkan bahwa bahkan perusahaan multinasional dengan standar bisnis tinggi pun terbukti melakukan tindakan tidak terpuji, seperti kasus-kasus berikut:

  • Kasus Innospec Limited (2010-2015) – Perusahaan kimia asal Inggris terbukti menyuap pejabat PT Pertamina untuk memenangkan kontrak penjualan bahan tambahan bensin.
  • Kasus Alstom dan Marubeni (2004) – Perusahaan asal Prancis dan Jepang diduga terlibat suap dalam proyek PLTU Tarahan, Lampung.
  • Kasus Rolls-Royce (2017) – Perusahaan manufaktur asal Inggris menyuap pejabat PT Garuda Indonesia untuk mendapatkan kontrak pengadaan mesin pesawat.

"Kita bisa belajar dari kasus-kasus ini bahwa tanpa mekanisme kontrol dan transparansi yang ketat, entitas bisnis besar pun bisa terlibat dalam penyimpangan. Maka, revisi UU BUMN ini harus dikaji kembali agar tidak menjadi bom waktu bagi pengelolaan aset negara di masa depan," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: