Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pajak Kripto Dinilai Memberatkan Trader dan Investor

Pajak Kripto Dinilai Memberatkan Trader dan Investor Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan pajak kripto di Indonesia kembali menjadi sorotan, terutama terkait penerapan pajak terhadap airdrop serta transaksi di exchange luar negeri. CEO INDODAX, Oscar Darmawan, menegaskan bahwa meski regulasi pajak kripto sudah berjalan sejak 2022, masih terdapat tantangan dalam implementasinya, khususnya terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak transaksi luar negeri.

Sejak 2022, pemerintah telah menetapkan skema pajak final untuk transaksi aset kripto di exchange berizin, yaitu PPh Final 0,1% dan PPN 0,11%. Tarif ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pajak kripto terendah di dunia.

Baca Juga: Resmi Berlaku, Begini Skema PPN dalam Transaksi Kripto

"Di negara lain, pajak kripto umumnya menggunakan skema progresif berbasis keuntungan. Di Amerika Serikat, pajak atas keuntungan kripto bisa mencapai 40%, sementara di Eropa bahkan bisa 50%. Sebaliknya, di Dubai, tidak ada pajak kripto sama sekali," ujar Oscar.

Menurutnya, skema pajak final di Indonesia lebih sederhana dan kompetitif dibandingkan negara lain. Namun, tantangan utama justru terletak pada PPN dan pajak transaksi luar negeri, yang dinilai memberatkan trader dan investor.

Baca Juga: Transformasi Ekonomi Digital dan Integrasi Kripto dalam Ekosistem Keuangan

Oscar menyoroti bahwa pajak ini juga memengaruhi biaya transaksi di exchange lokal. Biaya transaksi yang tinggi akibat pajak membuat beberapa investor lebih memilih menggunakan exchange luar negeri, meskipun aturan pajak untuk transaksi di platform asing masih belum jelas.

PMK 68 menetapkan pajak 0,2% bagi transaksi di exchange yang tidak memiliki izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK), namun belum ada mekanisme pemungutannya. Akibatnya, trader harus melaporkan sendiri pajaknya, yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian dalam pelaporan.

"Seharusnya, exchange luar negeri yang memungut pajak, bukan tradernya. Karena belum ada sistem yang jelas, akhirnya trader harus melaporkan sendiri, yang kadang justru menimbulkan perbedaan interpretasi di kantor pajak," ujar Oscar.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: