Lanjutan Sidang Kasus Wanprestasi Waralaba Restoran di Lampung, PT Mitra Setia Kirana Disebut Harus Bertanggung Jawab
Kredit Foto: Istimewa
Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang kembali menggelar sidang lanjutan kasus wanprestasi yang melibatkan pengusaha asal Jakarta, Tedy Agustiansjah, pada Jumat (21/2/2025). Sidang tersebut bertujuan untuk mendengarkan keterangan saksi ahli perdata dari tergugat 3, yaitu Prof. Suparji. Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang terdiri dari Firman Khadafi sebagai ketua, serta dua anggota hakim, Hendro Wicaksono dan Alfarobi.
Kuasa hukum Tedy, Natalia Rusli, menjelaskan bahwa sidang tersebut mengungkap fakta-fakta baru terkait mangkraknya proyek pembangunan resto bebek tepi sawah di Lampung.
Natalia menegaskan bahwa penggugat, CV Hasta Karya Nusapala, yang dimiliki oleh Andy Mulya Halim, melalui kuasa hukumnya menyatakan dalam persidangan bahwa pihak yang diduga bertanggung jawab atas kerugian perusahaan adalah Komisaris Utama dan Komisaris PT Mitra Setia Kirana, yaitu Titin dan Sellavina.
Titin, menurut Natalia, adalah mertua Andy Mulya Halim, sedangkan Sellavina adalah istrinya. "Kuasa hukum penggugat, yang mewakili CV Hasta Karya Nusapala milik Andy Mulya Halim, menyatakan bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah Komisaris PT Mitra Setia Kirana, yaitu Titin dan Sellavina," kata Natalia Rusli pada Sabtu (22/2/2025).
Natalia menambahkan bahwa kliennya, Tedy, tidak memiliki hubungan apa pun dengan kasus ini. Ia menilai bahwa kliennya seolah-olah dijadikan korban dalam perselisihan internal keluarga Titin.
Ia juga menyetujui pernyataan dari kuasa hukum CV Hasta Karya Nusapala, Sitepu Law Firm, yang menyatakan bahwa pihak yang bertanggung jawab atas kasus ini adalah Komisaris Utama PT Mitra Setia Kirana, Titin, dan Komisarisnya, Sellavina.
"Kami menekankan bahwa klien kami adalah pihak yang dirugikan dalam kasus ini. Tanahnya hampir diambil alih, dan dana sebesar Rp16 miliar telah hilang tanpa kejelasan. Kami menentang keras upaya pengambilalihan tanah milik klien kami," tegas Natalia.
Natalia memastikan bahwa kliennya tidak mengetahui adanya perselisihan internal dalam keluarga Titin. Bahkan, kliennya telah melaporkan dugaan penipuan dan penggelapan uang sebesar Rp16 miliar ke Polda Metro Jaya.
Di Polda Metro Jaya, empat orang telah dilaporkan, yaitu Titin, Sellavina, Andy Mulya Halim, dan Hadi Wahyudi. Natalia menilai bahwa Hadi adalah pihak yang dimanfaatkan oleh keluarga tersebut sebagai kontraktor.
"Pada kenyataannya, tidak ada aliran dana ke CV Hasta Karya Nusapala. Dana yang masuk ke PT Mitra Setia Kirana dikelola oleh Titin dan Sellavina," jelas Natalia.
Natalia menambahkan bahwa dalam kasus ini, Andy Mulya Halim, selaku menantu dan pemilik CV Hasta Karya Nusapala, menggugat istrinya, Sellavina, dan mertuanya, Titin, yang merupakan pemilik PT Mitra Setia Kirana.
Ia merasa heran mengapa kliennya, Tedy, yang tidak terlibat, ikut diseret dalam kasus ini. Padahal, dana sebesar Rp16 miliar telah hilang, dan tanah milik Tedy yang bernilai Rp48 miliar terancam diambil alih.
"Tanahnya dipinjam, dan kini terancam dirampas. Apa kaitannya dengan Tedy?" tanya Natalia.
Kasus ini bermula dari proyek pembangunan cabang Resto Bebek Tepi Sawah yang diinisiasi oleh Titin, Komisaris PT Mitra Setia Kirana, bersama menantunya, Andy Mulya Halim. Mereka mengajak Tedy Agustiansjah untuk berinvestasi dalam proyek tersebut.
Namun, proyek ini tiba-tiba mangkrak. Yang lebih mengejutkan, kontraktor yang menggugat Tedy, CV Hasta Karya Nusapala, ternyata dimiliki oleh Andy sendiri.
Bukan hanya proyek yang gagal, tanah milik Tedy yang bernilai Rp48 miliar kini terancam disita, sementara dana Rp16 miliar dari proyek ini hilang tanpa kejelasan.
“Ini bukan sekadar gugatan wanprestasi, melainkan skema yang diduga dirancang untuk mengambil alih aset klien kami. Ini bukan sekadar bisnis yang gagal, melainkan upaya pengambilalihan aset yang disamarkan sebagai gugatan hukum,” ujar Farlin Marta, kuasa hukum Tedy.
Farlin juga menyatakan kebingungannya mengapa penggugat tidak menghadirkan saksi dalam sidang tersebut.
"Tidak ada kejelasan mengapa saksi tidak hadir. Apakah karena sakit atau alasan lain, tidak ada penjelasan," jelasnya.
Sebagai informasi, Titin bersama dua orang lainnya telah dilaporkan ke Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya pada 3 Januari 2025. Dua orang tersebut adalah Andy Mulya Halim dan Hadi Wahyudi, yang dilaporkan atas dugaan penipuan dan penggelapan uang sebesar Rp16 miliar.
Dana tersebut diberikan secara bertahap dari tahun 2018 hingga 2020 untuk pembangunan restoran bebek di tepi sawah di Bandar Lampung. Restoran tersebut rencananya akan dibangun di atas tanah milik Tedy, dengan ketiga terlapor sebagai pengembang.
"Mereka membuat surat perjanjian dengan Hadi Wahyudi selaku kontraktor, yaitu Surat Perjanjian Kontrak Kerja Nomor: 022-SPK/HKN-19/IV/2019 tanggal 29 April 2019 dan Surat Perjanjian Kontrak Kerja Nomor: 032-1-MEP-SPK/HKN-01/IX/2019 tanggal 10 September 2019," kata Farlin.
Namun, dalam kontrak kerja tersebut, nama atau tanda tangan Tedy tidak pernah dicantumkan. Bahkan, terlapor juga tidak menjelaskan secara rinci tentang pembangunan restoran, klub, kafe, kantor, dan tempat tinggal pribadi di atas tanah milik siapa.
"Para terlapor tidak mencantumkan bukti sertifikat hak milik atau luas tanah yang digunakan. Hingga akhirnya, proyek tersebut mangkrak," jelas Farlin.
Farlin menambahkan bahwa hingga saat ini, Tedy tidak pernah menerima pembayaran atau cicilan dari pihak terlapor atas penggunaan dana sebesar Rp16 miliar. Ia juga menyatakan bahwa Hadi Wahyudi, yang disebut sebagai kontraktor, sebenarnya hanya figur, dan 50% kepemilikan CV Hasta Karya Nusapala adalah milik Andy Mulya Halim.
Ia berharap kasus ini dapat segera diselesaikan untuk memberikan keadilan bagi kliennya yang telah mengalami kerugian hingga belasan miliar rupiah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement