Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Koalisi Ojol Nasional Sebut 'Aksi Ojol 272' Tak Seramai yang Diprediksi

Koalisi Ojol Nasional Sebut 'Aksi Ojol 272' Tak Seramai yang Diprediksi Kredit Foto: Ist
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Presidium Koalisi Ojol Nasional (KON) Andi Kristiyanto mengatakan kalau aksi demonstrasi pengemudi ojek online bertajuk "AKSI Ojol 272" yang sebelumnya diprediksi akan diikuti oleh ratusan ribu peserta, pada Kamis (27/2) ternyata hanya dihadiri oleh kurang dari seratus pengemudi.

Dengan jumlah peserta yang hadir jauh lebih sedikit dari perkiraan awal. Itu menunjukkan bahwa tidak semua pengemudi memiliki pandangan yang sama terhadap tuntutan yang disampaikan dalam aksi tersebut, begitu kata Andi.

Andi mengatakan bahwa ada kesan pihak yang menyerukan agar off-bid dalam aksi ini, hanya klaim sepihak yang tidak di dukung oleh rekan-rekan ojol dari berbagai komunitas.

Ia juga menambahkan bahwa fakta di lapangan, termasuk hasil pengecekan oleh Forum Ojol Yogya Bersatu (FOYB), menunjukkan bahwa tidak ditemukan alamat posko aksi sebagaimana disebutkan dalam selebaran yang beredar.

"Dengan fakta tersebut, kawan-kawan ojol juga meragukan kredibilitas pihak tersebut, yang diduga memanfaatkan ojol untuk kepentingan pribadinya, tidak ada manfaatnya buat kawan-kawan ojol dan bahkan bisa merusak citra ojol yang bisa berakibat menurunnya kepercayaan masyarakat pengguna jasa terhadap ojol, dan tentunya seruan tersebut merugikan kawan-kawan ojol,” kata Andi.

Dalam beberapa tahun terakhir, tuntutan dari komunitas ojek online kerap menjadi perdebatan di kalangan masyarakat dan pakar kebijakan transportasi.

Beberapa isu utama yang sering diangkat meliputi penetapan tarif dasar yang adil, potongan biaya aplikasi, kebijakan insentif dan promosi, serta tuntutan agar pengemudi ojek online mendapatkan tunjangan hari raya (THR) dan diangkat sebagai pekerja tetap.

Pakar transportasi dari Universitas Indonesia, Dr. Yudi Wahyudi mengatakan bahwa ada tantangan besar dalam menyeimbangkan kepentingan pengemudi, aplikator, dan konsumen. Regulasi yang ada juga harus diperjelas dan diperketat agar tidak hanya menguntungkan satu pihak saja.

Pemerintah diharapkan dapat memainkan peran lebih aktif dalam mengawasi dan menyesuaikan kebijakan agar ekosistem transportasi daring tetap sehat dan berkelanjutan.

Secara data, kata Yudi, pada tahun 2024 menyoroti bahwa tuntutan revisi potongan biaya aplikasi dari 20% menjadi maksimal 10% perlu dikaji lebih dalam.

"Menurunkan potongan aplikasi memang dapat meningkatkan pendapatan pengemudi, tetapi kita juga harus mempertimbangkan keberlanjutan platform yang memberikan layanan ini," ujarnya.

Sementara itu, Dwi Hartanto, pengamat ekonomi digital, dalam analisisnya tahun 2024 menyatakan bahwa kebijakan promosi yang dikritik oleh pengemudi justru menjadi bagian dari strategi bisnis yang bertujuan meningkatkan jumlah pengguna dan akhirnya dapat memberikan lebih banyak order kepada pengemudi.

"Jika promosi dihapus begitu saja, ada risiko penurunan permintaan yang juga akan berdampak pada penghasilan mereka," jelasnya.

Sementara itu, terkait tuntutan THR dan status pekerja tetap, ahli hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada Dr. Anwar Fadillah menyatakan pada tahun 2024 bahwa pengemudi ojek online berstatus sebagai mitra, bukan pekerja tetap.

"Menjadikan pengemudi sebagai pekerja tetap berarti mengubah secara fundamental model bisnis platform transportasi daring. Hal ini akan berdampak luas, baik dari sisi hukum maupun ekonomi. Indonesia akan dihadapkan pada jutaan mitra ojol ini akan kehilangan sumber pendapatan, karena perusahaan tidak mungkin bisa menampung 100% jumlah mitra yang ada saat ini jika harus menjadi pekerja tetap" jelasnya.

Dalam kata lain, pemerintah akan mendapatkan pekerjaan rumah (PR) tambahan yaitu angka pengangguran di Indonesia bertambah drastis.

Pemerintah perlu memikirkan jalan keluar yang bijak agar iklim investasi menarik untuk investor sehingga juga berdampak pada menurunnya angka pengangguran, malah bukan sebaliknya.

Prof. Payaman Simanjuntak, pakar ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, juga menekankan bahwa pekerja ekonomi gig sebaiknya diberikan perlindungan sosial yang sesuai dengan karakteristik fleksibilitas pekerjaan mereka, bukan dipaksa masuk dalam sistem ketenagakerjaan konvensional yang dapat mengurangi daya saing industri.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: