Kredit Foto: Istimewa
Setiap tanggal 13 Maret diperingati sebagai Hari Masyarakat Adat Nasional. Perjuangan hak-hak masyarakat adat tidak terlepas dari kiprah Nukila Evanty, Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) atau Indigenous Peoples' Initiatives. Nukila menjelaskan bahwa negara sudah menjamin keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya dalam Konstitusi UUD 1945 dan undang-undang lainnya.
Nukila menambahkan, situasinya, banyak yang belum memahami siapa masyarakat adat tersebut sesungguhnya. Mereka sering bercampur dengan konteks masyarakat desa atau masyarakat lokal. Masyarakat adat mewakili kelompok minoritas kecil, memiliki sejarah keberadaan, pengetahuan khusus, tradisi, bahasa tersendiri, sosial budaya, dan kearifan lokal yang diturunkan dari nenek moyang dan dilestarikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sehingga mereka mempunyai hak-hak khusus dan universal yang sudah tercantum dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) dan Konvensi ILO No. 169 tentang Masyarakat Adat dan Suku.

Apa tantangan masyarakat adat saat ini? Saat ini, mereka terus-menerus menghadapi tantangan dengan memudarnya bahkan menghilangnya budaya, perampasan tanah komunal adat, dan bahkan pelanggaran hak asasi mereka. Ketika ada proyek-proyek pembangunan, pembukaan lahan pertanian, dan industri ekstraktif yang diinisiasi oleh pemerintah dan perusahaan swasta di wilayah dan lahan leluhur mereka, seringkali terjadi perselisihan, konflik, dan bahkan pemaksaan relokasi dari tempat kelahiran mereka ke tempat baru tanpa persetujuan masyarakat adat tersebut.
Saya aktif melakukan intervensi program, advokasi, dan penguatan kapasitas kepada beberapa masyarakat adat. Terakhir, kegiatan pada Januari 2025 di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, isunya selalu sama: masyarakat adat tidak pernah didengar dan dilibatkan sejak awal ketika investor datang ke wilayah mereka. Tiba-tiba masyarakat adat kaget ketika excavator sudah berada di depan mata, menggali tanah dan meratakan tempat keramat mereka. Atau, dengan sedih, mereka menatap chainsaw atau feller buncher, yaitu alat berat pemotong pohon yang sedang menghabisi pohon-pohon di hutan tempat mereka mencari makan.
Menurut Nukila, parahnya lagi, di saat masyarakat adat menghadapi proyek pembangunan dan industri ekstraktif di wilayah mereka tanpa keterlibatan, ancaman besar lain yang dihadapi adalah perubahan iklim. Musim hujan yang begitu panjang menggenangi lahan pertanian mereka, dan musim kering yang begitu lama membuat tanah kering kerontang. Selain itu, adanya ancaman proyek konservasi atau eco-proyek lainnya yang mengecualikan dan mengabaikan masyarakat adat, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dari hutan sesuai dengan budaya mereka.
Situasi memburuk juga dialami oleh suku laut di Kepulauan Riau. Sedimentasi di perairan dan industri ekstraktif seperti pengerukan pasir telah membuat ikan-ikan yang dahulu mudah didapat pergi menjauh. Akibatnya, suku laut yang juga merupakan nelayan tradisional tersebut harus mencari ikan jauh di samudra luas, bertarung dengan ombak dan badai.
Apa rekomendasinya? Pebisnis, investor, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya hanya perlu meluangkan waktu untuk mendengarkan suara masyarakat adat. Jika masyarakat adat dilibatkan sejak awal dalam proses perencanaan suatu proyek, mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat adat setempat, melakukan mitigasi dampak lingkungan dan sosial budaya dari suatu proyek pembangunan, bahkan melakukan pemulihan dengan memberikan kepastian seperti kompensasi atau ganti rugi jika terjadi dampak-dampak proyek yang tidak diinginkan, maka bisnis dan investasi akan memberikan manfaat dan berjalan dengan baik pula.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement