Tarif 32% Trump untuk Indonesia Cuma Asal Hitung, Ekonom: Tak Punya Basis yang Jelas

Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden AS Donald Trump kembali menuai kritik tajam. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Fadhil Hasan, menyebut kebijakan tersebut tidak didasarkan pada perhitungan ekonomi yang kredibel.
"Cara mereka menentukan reciprocal tariff yang dikenakan kepada negara-negara, perhitungannya itu tidak memiliki satu basis ekonomi yang jelas," tegas Fadhil dalam Diskusi Publik “Waspada Genderang Perang Dagang” yang digelar di Jakarta pada Jumat (4/4/2025).
Indonesia termasuk dalam daftar negara yang terkena imbas, menempati posisi ke-8 dengan tarif impor yang melonjak menjadi 32 persen. Namun, Fadhil menyoroti bahwa tarif tersebut lahir dari asumsi keliru Pemerintah AS mengenai perlakuan dagang Indonesia terhadap produk Amerika.
Baca Juga: Bangun Barisan ASEAN, Indonesia dan Malaysia Gercep Bahas Langkah Tanggapi Tarif Trump
Menurutnya, Washington beranggapan bahwa Indonesia mengenakan tarif sebesar 64 persen terhadap barang-barang AS, padahal kenyataannya hanya sekitar 8–9 persen saja. “Padahal kalau kita lihat yang sebenarnya, level tarif kita itu sebenarnya tidak sampai 64 persen terhadap produk AS itu,” kata Fadhil.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bagaimana AS menghitung besaran tarif tersebut. Pemerintah Trump disebut menggunakan data surplus perdagangan Indonesia sebesar 16,8 miliar dolar AS, kemudian membaginya dengan total impor AS dari Indonesia yang mencapai sekitar 28 miliar dolar AS. Dari rumus inilah angka 64 persen muncul yang lalu dijadikan dasar penerapan tarif 32 persen kepada Indonesia.
Tak berhenti di situ, Fadhil menambahkan bahwa Pemerintah AS juga memasukkan unsur currency manipulation dan non-trade barriers (NTB) dalam kalkulasi mereka—sebuah langkah yang menurutnya sulit dipertanggungjawabkan. “Menghitung NTB itu sangat susah,” ujarnya.
Baca Juga: Tak Tinggal Diam! Prabowo Siapkan Langkah Taktis Hadapi Tarif Trump
Bahkan, kalangan ekonom di AS sendiri banyak yang meragukan validitas metode tersebut. Seorang profesor dari University of Michigan, kata Fadhil, secara sarkastik menyarankan agar ekonom Trump sebaiknya pensiun karena melakukan perhitungan tarif yang tidak berdasar secara ilmiah.
“Jadi, saya kira hampir semua sepakat bahwa perhitungan yang dilakukan itu sangat membingungkan dan tidak memiliki suatu argumen yang jelas, tetapi itulah yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika dan itu berlaku untuk semua negara,” tutup Fadhil.
Pernyataan ini menambah panjang deretan kritik terhadap kebijakan dagang proteksionis Trump yang dinilai bisa memicu ketegangan global dan mengancam kestabilan perdagangan internasional.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Belinda Safitri
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait:
Advertisement