Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

QRIS dan GPN Dinilai Hambat Perusahaan AS, Pemerintah RI Tanggapi Tegas

QRIS dan GPN Dinilai Hambat Perusahaan AS, Pemerintah RI Tanggapi Tegas Kredit Foto: Youtube BPMI Setpres
Warta Ekonomi, Jakarta -

Isu penggunaan sistem pembayaran domestik Indonesia, yakni Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), mencuat dalam negosiasi perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS di bawah Presiden Donald Trump menilai kebijakan ini menghambat perusahaan asing, termasuk dari AS, untuk bersaing secara setara dengan pelaku usaha dalam negeri.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait masukan dari pemerintah AS mengenai sistem pembayaran tersebut.

“Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia, terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika,” ujar Airlangga dalam konferensi pers daring, Jumat (18/4/2025).

Baca Juga: Update Negosiasi Tarif Trump: Indonesia Berencana Impor BBM AS

Menurut AS, keberadaan QRIS dan GPN merupakan hambatan non-tarif yang bisa merugikan perusahaan asal Negeri Paman Sam. Namun, pemerintah Indonesia menilai kedua sistem pembayaran itu justru sebagai langkah strategis untuk mendorong inklusi keuangan, memperkuat kedaulatan sistem pembayaran nasional, serta meningkatkan efisiensi transaksi digital di dalam negeri.

QRIS sendiri merupakan sistem pembayaran berbasis kode QR yang terintegrasi dan dapat digunakan lintas platform. Sementara GPN memungkinkan interkoneksi antarbank dan lembaga keuangan dalam negeri untuk menciptakan ekosistem pembayaran yang efisien dan aman.

Isu sistem pembayaran ini muncul bersamaan dengan negosiasi menyusul kebijakan tarif resiprokal Presiden Trump yang memberlakukan bea masuk tinggi terhadap produk Indonesia, mencapai 32% dan bahkan hingga 47% untuk beberapa komoditas. Kebijakan ini dinilai memberatkan ekspor Indonesia dan membuat produk Tanah Air kurang kompetitif di pasar AS.

Selain isu sistem pembayaran, Airlangga mengungkapkan bahwa pembahasan dengan AS juga menyentuh berbagai aspek dalam paket kebijakan ekonomi lainnya, termasuk soal perizinan impor, API (Angka Pengenal Importir), sistem OSS (Online Single Submission), layanan perpajakan dan kepabeanan, pengaturan kuota impor, serta sektor keuangan.

“Kita juga minta agar Amerika Serikat memperdalam sektor perdagangan, investasi, energi, kerja sama mineral penting, sektor keuangan, pertahanan, dan pendidikan,” lanjut Airlangga.

Baca Juga: Bahas Tarif Trump, Sri Mulyani Duduk Bareng Dubes AS

Ia juga menegaskan pentingnya keadilan dalam perlakuan tarif dagang terhadap Indonesia dibandingkan negara pesaing, terutama di kawasan Asia Tenggara. Indonesia, menurutnya, ingin mendapatkan perlakuan yang setara dan tidak diskriminatif dalam perdagangan global.

“Kami tegaskan bahwa selama ini tarif yang dikenakan tidak level playing field, termasuk dibandingkan dengan negara pesaing kita di ASEAN. Kita ingin diberikan tarif yang tidak lebih tinggi,” tegas Airlangga.

Baca Juga: Peran BPDP dalam Mendukung Petani Kelapa Sawit Rakyat

Baca Juga: Dampak Positif Kelapa Sawit Terhadap Perekonomian Nasional

Pemerintah RI dan AS telah sepakat menuntaskan pembahasan isu tarif dalam waktu 60 hari ke depan. Sembari menegosiasikan keringanan tarif, Indonesia juga menyusun langkah diversifikasi ekspor ke kawasan Eropa dan Australia serta memperdalam hubungan bilateral dengan mitra dagang strategis lainnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: