Kredit Foto: Antara/Sulthony Hasanuddin
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2025 hanya mencapai 4,87 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Angka ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tumbuh 5,11 persen. Jika dibandingkan secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq) terhadap kuartal IV 2024, perekonomian justru terkontraksi sebesar -0,98 persen.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai pelemahan ini bisa menjadi sinyal awal dari resesi teknikal jika tren berlanjut di kuartal berikutnya.
“Secara q-to-q angkanya cukup mengkhawatirkan, di mana pertumbuhan triwulan I 2025 minus 0,98 persen, terendah dibandingkan periode yang sama sejak lima tahun terakhir,” ujar Bhima dalam keterangan resminya, Selasa (6/5/2025).
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi RI Melambat ke 4,87%, Ekonom: Bisa Lebih Mengkhawatirkan
Ia menekankan sektor industri pengolahan sebagai indikator utama tekanan ekonomi. Menurutnya, jika pelemahan berlanjut, industri akan mengurangi pembelian bahan baku, mengefisiensikan biaya, termasuk memotong tenaga kerja.
Pada triwulan I 2025, industri pengolahan nonmigas tumbuh 4,31 persen, turun dari 4,64 persen pada periode yang sama tahun lalu. Tekanan ini juga tercermin dalam indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia yang turun ke level 46,7 pada April 2025, di bawah ambang batas ekspansi.
Bhima menyebut pelemahan ini tak hanya disebabkan oleh tekanan eksternal seperti perang dagang, tetapi juga persoalan struktural domestik.
Baca Juga: Menko Airlangga Ungkap Strategi Pemerintah Dorong Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II-2025
“Tapi di dalam negeri, efek industri melemah ibarat lingkaran setan (vicious cycle), menciptakan pelemahan daya beli lebih dalam, berujung pada menurunnya permintaan produk industri,” tegasnya.
Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menambahkan bahwa pemerintah harus memperkuat daya beli masyarakat dengan kebijakan fiskal ekspansif, salah satunya melalui program bantuan sosial.
“Mau pakai data BPS atau Bank Dunia, pada prinsipnya pemerintah belum serius memberikan perlindungan bagi kelas menengah, rentan, maupun miskin. Apalagi pekerja informal ke depan semakin besar porsinya karena gelombang PHK di sektor formal, dan mereka butuh jaring pengaman sosial yang lebih memadai,” kata Huda.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cita Auliana
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement