Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Vasektomi Jadi Syarat Bansos, DPR Ingat Zaman Orde Baru: 'Bikin Trauma'

Vasektomi Jadi Syarat Bansos, DPR Ingat Zaman Orde Baru: 'Bikin Trauma' Kredit Foto: Antara/Kornelis Kaha
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Komisi XIII DPR Pangeran Khairul Saleh menyoroti sejumlah kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial.

Beberapa kebijakan itu yakni wacana menjadikan prosedur vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) dan program militerisasi bagi siswa bermasalah.

Pangeran menyebut kebijakan mewajibkan vasektomi demi mendapatkan bansos tidak dapat dibenarkan dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi HAM dan nilai-nilai Pancasila. Ia menegaskan bansos adalah hak konstitusional yang dijamin negara.

“Bansos adalah hak konstitusional warga negara yang tidak boleh dikaitkan dengan prosedur medis yang bersifat pribadi dan permanen. Usulan tersebut tidak hanya cacat secara etika, tetapi juga menabrak prinsip-prinsip hukum dan kemanusiaan," katanya.

Vasektomi adalah pilihan pribadi yang tidak bisa dipaksakan. “Terlebih jika vasektomi dikaitkan dengan pemenuhan hak dasar seperti bansos. Usulan seperti ini jelas melanggar HAM, karena memaksa seseorang untuk menjalani prosedur medis yang bersifat pribadi sebagai prasyarat memperoleh hak dasar," tegasnya. 

Untuk diketahui, vasektomi adalah prosedur kontrasepsi permanen pada pria yang dilakukan dengan memotong atau menyumbat saluran sperma (vas deferens) sehingga sperma tidak dapat mencapai air mani saat ejakulasi.

Adapun Gubernur Jabar Dedi Mulyadi mengusulkan agar vasektomi atau program Keluarga Berencana (KB) pria itu dijadikan syarat bagi masyarakat prasejahtera untuk menerima bansos. Dedi menyebut tujuan kebijakan ini adalah untuk menekan angka kelahiran dan menurunkan kemiskinan.

Dedi mengusulkan pemberian insentif sebesar Rp 500 ribu bagi warga yang bersedia melakukan vasektomi, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keluarga. 

Dedi pun berencana menjadikan kepesertaan KB sebagai syarat bagi masyarakat untuk menerima bantuan mulai beasiswa hingga berbagai bantuan sosial dari provinsi.

Hal ini bertujuan pemberian bantuan pemerintah, termasuk dari provinsi, lebih merata dan tidak terfokus pada satu pihak atau satu keluarga saja, mulai dari bantuan kesehatan, kelahiran, hingga bantuan lainnya. 

Terkait rencana Dedi Mulyadi itu, Pangeran mengingatkan pada masa Orde Baru, program KB pernah dijalankan dengan tekanan administratif dan minim partisipasi publik, yang akhirnya menimbulkan trauma sosial jangka panjang.

“Saya khawatir hal serupa bisa terulang jika pendekatan seperti ini kembali digunakan tanpa memperhatikan konteks sosial dan hak individu. Menjadikan kepesertaan KB sebagai syarat bagi masyarakat miskin mendapat bantuan dari Pemerintah juga terkesan diskriminatif,” ucap Pangeran.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: