Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kesepakatan Dagang AS-China Beri Angin Segar ke Ekspor RI, Celios Ingatkan Ancaman Serius

Kesepakatan Dagang AS-China Beri Angin Segar ke Ekspor RI, Celios Ingatkan Ancaman Serius Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai kesepakatan penurunan tarif dagang Amerika Serikat (AS) dan China memberikan sentiment positif bagi perekonomian Indonesia, khususnya dalam mendukung pemulihan ekspor.

Menurut Bhima, peningkatan permintaan industri di China sebagai dampak dari kesepakatan tersebut akan menopang kinerja ekspor Indonesia, terutama pada komoditas unggulan.

“Harga komoditas unggulan ekspor Indonesia diperkirakan berlangsung pulih sejalan dengan meningkatnya permintaan industri di China, menopang kinerja ekspor Indonesia secara umum,” kata Bhima kepada Warta Ekonomi, Jakarta, Selasa (13/5/2025). 

Kesepakatan dagang yang berlaku selama 90 hari mulai Rabu (14/5/2025) itu menetapkan penurunan tarif impor AS terhadap barang-barang asal China dari 145% menjadi 30%. Sementara itu, China juga memangkas tarif terhadap barang asal AS dari 125% menjadi 10%.

Baca Juga: Rupiah Masih Tertekan Meski AS-China Berdamai, BI Diminta Waspada

Kendati demikian, Bhima menyoroti tantangan bagi Indonesia. Ia berpendapat, penurunan tarif China ke pasar AS dapat menurunkan daya saing produk ekspor Indonesia seperti tekstil, alas kaki, dan pakaian jadi. Akibatnya, produk-produk tersebut bisa kalah bersaing dengan barang asal China yang kini lebih murah di pasar AS.

“Sementara Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi,” ungkapnya. 

Ia juga mengingatkan risiko relokasi industri dari Indonesia kembali ke China, mengingat tarif ekspor China ke AS yang kini lebih rendah. Hal ini dinilai bisa memperburuk kinerja investasi langsung Indonesia, apalagi realisasi Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) pada kuartal I-2025 tercatat terkontraksi -7,4% secara kuartalan (q-to-q).

Untuk menghadapi tantangan ini, Bhima menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih agresif dalam melakukan lobi dagang dengan AS. Strategi bisa melibatkan pembaruan IUPK Freeport, relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga, serta memasukkan isu Laut China Selatan ke dalam agenda negosiasi.

Bhima menegaskan pentingnya Indonesia menekan AS agar memberi tarif ekspor yang lebih rendah dibandingkan China. Saat ini, ada kekhawatiran tarif yang diberlakukan AS terhadap produk Indonesia akan tetap lebih tinggi dari tarif 30% yang dikenakan pada produk China.

Baca Juga: AS-China Bawa Kabar Gembira, Kesepakatan Dagang Berujung Meroketnya Dolar AS

“Isu Laut China Selatan sebaiknya masuk ke meja negosiasi juga untuk tekan posisi AS agar berikan tarif lebih rendah dari China. Sejauh ini ada kekhawatiran tarif Indonesia tetap lebih tinggi dari China yang sebesar 30%,” urainya. 

Tak hanya itu, ia juga mengingatkan potensi lonjakan barang impor dari China, Vietnam, dan Kamboja ke Indonesia selama masa jeda negosiasi. Menurutnya, ancaman PHK di sektor padat karya lebih besar berasal dari persaingan dengan barang impor murah dibandingkan kesulitan ekspor ke AS.

Di sisi lain, Bhima mengatakan bahwa pelemahan kurs rupiah masih cenderung tertahan, sehingga efek imported inflation atau kenaikan harga barang impor dapat diminimalisasi. Selain itu, cadangan devisa Indonesia juga relatif aman karena tak terlalu banyak terserap untuk intervensi nilai tukar rupiah.

“Pelemahan kurs rupiah cenderung tertahan, membuat efek imported inflation atau meningkatnya harga barang impor bisa lebih kecil. Cadangan devisa juga tidak terlalu banyak terkuras untuk intervensi rupiah,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cita Auliana
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: