DPR dan Koalisi Ojol Tolak Intervensi Organisasi Buruh Dunia: Sistem Kemitraan Lebih Sesuai di Indonesia

Penolakan terhadap Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang mengatur pekerja platform digital semakin menguat di Indonesia. Koalisi Ojol Nasional (KON) bersama sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyampaikan keberatan terhadap upaya reklasifikasi mitra ojek online (ojol) menjadi pekerja tetap.
Ketua Umum KON, Andi Kristiyanto, menyatakan bahwa sistem kemitraan yang berlaku saat ini telah sesuai dengan realitas lapangan. Ia menilai intervensi lembaga internasional seperti ILO tidak relevan terhadap konteks ojek online di Indonesia.
Baca Juga: Partai Perindo Bagikan Paket Daging Kurban untuk Ojol hingga Pasukan Oranye
“ILO nggak ada urusannya dengan nasib ojol di Indonesia, karena ojol bukan pekerja dan bukan buruh. Kami tolak intervensi ILO,” tegas Andi saat konferensi pers, Rabu (11/6).
Pernyataan ini merespons dukungan pemerintah Indonesia terhadap Konvensi ILO yang disampaikan oleh Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker, Indah Anggoro Putri, dalam forum ILO mewakili Menteri Ketenagakerjaan.
Sikap KON juga didukung oleh anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Gerindra, H. Obon Tabroni, yang sebelumnya tergabung dalam tim revisi UU Ketenagakerjaan.
“Awalnya saya ragu, tapi setelah mendengarkan masukan dari Koalisi Ojol, saya sadar bahwa benar mereka bukan buruh. Mereka mitra,” ujar Obon.
Dalam kesempatan tersebut, KON membacakan petisi yang berisi empat poin penolakan, termasuk penolakan terhadap politisasi isu ojol, keberatan atas pemotongan pendapatan sebesar 10% tanpa kajian, serta penolakan reklasifikasi sebagai pekerja tetap.
Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, mengingatkan bahwa pemaksaan reklasifikasi dapat menimbulkan efek domino ekonomi yang merugikan, termasuk kenaikan angka pengangguran, kerugian UMKM, dan hilangnya kepercayaan investor.
“Kalau reklasifikasi dipaksakan, hanya 10–30% mitra ojol yang bisa diserap sebagai karyawan. Sisanya, 70–90% bisa kehilangan pekerjaan,” ujar Agung.
Industri pengantaran dan mobilitas digital disebut menyumbang sekitar 2% dari PDB Indonesia, dengan potensi kerugian mencapai Rp178 triliun jika sistem kemitraan diganti.
Agung juga menyoroti efek negatif reklasifikasi di negara lain seperti Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat, yang menyebabkan perusahaan keluar dari pasar dan harga layanan melonjak.
Baca Juga: Grab Jawab Polemik Komisi dan Status Ojol
“Indonesia tidak bisa serta merta meniru negara lain tanpa kajian menyeluruh. Regulatory impact assessment perlu dilakukan lebih dulu,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement