Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tantangan dan Rekomendasi Penguatan Tata Kelola untuk Reformasi Kelembagaan Haji dan Umrah

Tantangan dan Rekomendasi Penguatan Tata Kelola untuk Reformasi Kelembagaan Haji dan Umrah Kredit Foto: Antara/Nova Wahyudi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia tercatat sebagai negara pengirim jemaah haji dan umrah terbesar di dunia. Antusiasme masyarakat untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci tidak hanya mencerminkan kesalehan, tetapi juga menunjukkan betapa besar tantangan dalam mengelola ekosistem haji dan umrah secara adil, transparan, dan berkelanjutan.

Namun, di balik angka yang mengesankan ini, masih terdapat berbagai persoalan kelembagaan, tumpang tindih kewenangan antar lembaga, serta kurangnya optimalisasi dalam pengelolaan dana haji dan pelayanan jemaah. Hal inilah yang menjadi perhatian dalam diskusi publik bertajuk "Saatnya Reformasi Kelembagaan Haji dan Umrah" yang diselenggarakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).

Nur Hidayah, Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF, menekankan pentingnya pengelolaan dana haji yang efisien. Dana yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) digunakan untuk menutup selisih antara Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih). Investasi dana haji saat ini masih terkonsentrasi pada surat berharga, namun mulai ada diversifikasi ke emas dengan hasil cukup menjanjikan, sekitar 12% atau Rp48 juta.

Ia juga membandingkan praktik Malaysia yang sudah mengklasifikasikan subsidi berdasarkan kelompok ekonomi: B40 (pendapatan rendah), M40 (menengah), dan T20 (atas) yang tidak lagi menerima subsidi sejak 2022. Strategi ini dinilai efektif dalam memperkuat keadilan sosial dan keberlanjutan fiskal.

Baca Juga: Penguatan Tata Kelola Dana Haji dan Umrah Demi Pembangunan Ekonomi Umat

Nur menyarankan sejumlah langkah, termasuk:

  • Diversifikasi instrumen investasi (termasuk perluasan investasi emas melalui bullion bank),
  • Investasi langsung di luar negeri, dan
  • Revisi Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji agar BPKH memiliki kewenangan yang lebih kuat, didukung koordinasi lintas lembaga dan fleksibilitas penggunaan mata uang asing.

Semua ini, menurutnya, harus berpijak pada prinsip Maqashid Syariah, yaitu perlindungan harta, jiwa, dan keberlanjutan sosial.

Peneliti CSED-INDEF lainnya, Handi Risza, menyoroti tantangan mendesak dalam pengelolaan dana haji, terutama menjelang tahun 2027, ketika diprediksi akan terjadi dua musim haji dalam satu tahun kalender. Lonjakan biaya penyelenggaraan bisa mencapai Rp42 triliun dan berpotensi menyusutkan dana kelolaan dari Rp170 triliun menjadi Rp128 triliun. Di sisi lain, jumlah jemaah yang masih mengantre mencapai 5,4 juta orang, dengan future liabilities diperkirakan menembus Rp504 triliun.

Handi mengusulkan pembentukan satu lembaga tunggal setingkat kementerian yang bertugas mengelola dana dan penyelenggaraan haji secara terpadu dan profesional. Lembaga ini diharapkan sekelas dengan Tabung Haji Malaysia atau Public Investment Fund milik Arab Saudi.

Murniati Mukhlisin, juga dari INDEF, menekankan perlunya tata kelola yang tidak hanya administratif, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan umat. Ia menyebut perlunya integrasi sistem pelaporan berbasis syariah serta akuntabilitas publik dari BPKH.

Rekomendasi strategisnya meliputi:

  • Pembentukan lembaga khusus setingkat kementerian,
  • Penyusunan Roadmap Haji dan Umrah 2025–2045,
  • Diversifikasi investasi ke sektor berdampak tinggi seperti rumah sakit syariah, properti halal, dan energi,
  • Pembentukan Dana Abadi Haji,
  • Peningkatan literasi digital jemaah hingga ke wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

Menurutnya, dana haji harus menjadi katalisator pembangunan ekonomi syariah, tidak sekadar untuk keperluan ibadah semata.

Baca Juga: BPKH Limited Salurkan Kompensasi Rp3,7 M kepada 42 Ribu Jemaah Haji

Peneliti CSED-INDEF Abdul Hakam Naja menyoroti transformasi besar-besaran yang tengah berlangsung di Arab Saudi melalui Visi 2030. Salah satu targetnya adalah meningkatkan kapasitas jemaah umrah dari 8 juta menjadi 30 juta per tahun. Infrastruktur diperluas, layanan didigitalisasi, dan sistem visa dipermudah melalui platform Nusuk.

Di tengah perubahan ini, Indonesia perlu menyesuaikan diri. Ia menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Haji dan UU Pengelolaan Keuangan Haji dalam bentuk omnibus law sangat penting agar tata kelola menjadi sistemik, terintegrasi, dan efisien.

Salah satu gagasan inovatif yang diajukannya adalah penggunaan standar emas sebagai acuan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, guna menghindari fluktuasi nilai tukar rupiah dan menjaga stabilitas dana.

Dengan reformasi kelembagaan yang tepat dan kebijakan berbasis prinsip syariah, Indonesia berpeluang menjadi pelopor global dalam pengelolaan dana dan layanan haji yang profesional, transparan, dan inklusif.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: