Peneliti Sebut Istilah Migran Baru Asal Tiongkok Perlu Dikaji dengan Pendekatan Baru
Kredit Foto: Istimewa
Istilah ‘migran’ yang belakangan ini digunakan untuk merujuk pada warga asal Tiongkok yang datang ke Indonesia dan Asia Tenggara dalam beberapa dasawarsa terakhir dianggap sebagai istilah yang rancu dan cenderung menimbulkan problema baik dalam aspek akademis maupun aspek sosial.
Hal ini karena istilah migran itu disematkan kepada orang-orang asal Tiongkok yang sebenarnya datang untuk sementara waktu ke negara tujuan, entah sebagai pekerja, pelajar, pebisnis, ataupun kegiatan-kegiatan lainnya.
Karena mereka datang untuk sementara dan dalam kelompok relatif besar, mereka tak dapat diharapkan untuk melakukan proses adaptasi dalam hal sosial dan budaya, seperti pendahulu mereka, yaitu etnis Tionghoa di Asia Tenggara, termasuk orang-orang Tionghoa Indonesia.
Pandangan di atas disampaikan peneliti senior pada ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, Profesor Leo Suryadinata saat menghadiri diskusi “Peran Migran Baru Tiongkok (Xin Yimin) di Asia Tenggara,” yang digelar oleh Program Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) dan Magister Ilmu Hubungan Internasional (MHI) Universitas Pelita Harapan (UPH), bersama dengan Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta.
Baca Juga: Nah Lho! AI Kebanggan Tiongkok Dituding Jiplak Gemini Google
Profesor Leo mengemukakan berbagai karakteristik dari migran baru asal Tiongkok (yang dalam Bahasa Mandarin disebut dengan istilah Xin Yimin) yang menurut pandangannya jauh berbeda dari karakteristik etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan Indonesia, yang disebut sebagai migran lama.
Menurutnya, orang-orang Tionghoa yang termasuk sebagai migran lama meninggalkan Tiongkok menuju negara tujuan, kebanyakan ke Asia Tenggara, selambatnya pada awal abad ke 20, dan dilatarbelakangi faktor ekonomi, khususnya kemiskinan.
“Orang-orang Tionghoa itu sebagian besar menuju dan bermukim di Asia Tenggara, dan menganggap Asia Tenggara sebagai tanah air mereka,” terang ahli Hubungan Internasional yang juga pemerhati Tionghoa Asia Tenggara kenamaan itu. Berbeda dengan Xin Yimin, mereka yang dikategorikan sebagai migran lama rata-rata berasal dari provinsi-provinsi di Selatan Tiongkok, seperti Fujian, Guangzhou, dan Hainan.
Berbeda dari etnik Tionghoa yang sudah berakar di Asia Tenggara dan Indonesia, migran baru asal Tiongkok tidak datang untuk menetap. Menurut Leo, mereka menjadikan negara-negara tujuan sebagai tempat untuk transit dalam proses migrasi yang bersifat sementara itu.
Oleh karenanya, mereka tak lagi berpegang pada istilah luodi shenggen (berakar di tanah yang mereka pijak) dan cenderung berpindah-pindah seperti daun teratai yang tak berakar.
“Karena mereka datang dengan jumlah besar, mereka akan berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama kelompok mereka, sehingga proses integrasi antara mereka dan masyarakat setempat menjadi sangat sulit,” tutur Leo.
Baca Juga: Iran Mereda, Kini Giliran China Memanas dengan AS soal Taiwan
Menurutnya, kesulitan untuk berintegrasi dengan masyarakat setempat menjadi sebuah persoalan yang muncul akibat kehadiran migran baru asal Tiongkok itu. Persoalan lain yang muncul adalah kegiatan mereka yang terkait dengan berbagai proyek investasi dari Tiongkok.
Namun, ia berpesan agar para peneliti tak melupakan bahwa proyek-proyek tersebut sebenarnya membawa pula hasil positif. “Transfer teknologi dari Tiongkok, yang secara biaya cukup murah, adalah salah satu dampak positif dari datangnya migran baru dari Tiongkok,” ungkap Leo.
Walaupun bergitu, ia juga mengingatkan bahwa terdapat pula dampak negatif yang tak kalah penting, seperti kerusakan lingkungan akibat pertambangan, kurangnya pelibatan tenaga kerja lokal dalam proyek-proyek asal Tiongkok akibat faktor bahasa, serta fenomena perjudian online, yang melibatkan orang-orang asal Tiongkok yang membentuk sindikat lintas negara di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Laos, Myanmar, dan Filipina.
Menimbang dampak positif dan negatif di atas, Leo beranggapan bahwa fenomena migran baru asal Tiongkok harus dikaji dengan sebuah pendekatan baru yang meskipun tetap kritis, tetapi tanpa bersifat apriori.
Baca Juga: Solusi Pemerintah Tuntaskan Permasalahan Hak Tanah Transmigran
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait:
Advertisement