- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Hilirisasi Nikel Dongkrak Ekspor Rp510 Triliun, Target Selanjutnya: Industri EV
Kredit Foto: Istimewa
Pemerintah Indonesia terus mengakselerasi hilirisasi nikel sebagai strategi utama dalam membangun industri baterai kendaraan listrik (EV) dan mendukung target ekonomi hijau. Sejak diberlakukannya larangan ekspor bijih nikel pada 2014, nilai ekspor produk olahan nikel melonjak signifikan, dari sekitar US$ 1 miliar menjadi lebih dari US$ 33,64 miliar pada 2024.
Lonjakan ini turut mendorong pertumbuhan sektor industri pengolahan, membuka ribuan lapangan kerja, dan meningkatkan nilai tambah dalam negeri secara signifikan. Saat ini, pemerintah memasuki tahap lanjutan dengan membangun ekosistem industri EV Battery yang terintegrasi, dari produksi prekursor hingga perakitan sel baterai dan kendaraan listrik.
Proyek besar seperti pembangunan pabrik baterai di Karawang dan Morowali menunjukkan komitmen kuat Indonesia untuk memperkuat rantai pasok domestik yang kompetitif secara global. Apabila berhasil dikembangkan secara optimal, ekosistem ini diproyeksikan memberikan nilai tambah jauh lebih besar bagi perekonomian.
Tiongkok, sebagai pembanding, telah memulai pembangunan rantai pasok EV sejak lebih dari satu dekade lalu. Pada 2023, industri EV dan baterai Tiongkok menyumbang lebih dari US$ 150 miliar terhadap perekonomian dan menjadikan negara tersebut sebagai eksportir kendaraan listrik terbesar dunia.
Baca Juga: Hilirisasi Nikel Jadi Senjata RI Menuju Negara Industri Maju
Wakil Ketua Komite Hilirisasi Mineral dan Batubara Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Djoko Widayatno, menyatakan bahwa hilirisasi nikel telah memberi kontribusi besar bagi ekonomi nasional. Namun, menurutnya, hilirisasi harus didorong ke tahap lanjutan, yakni pengembangan ekosistem baterai EV yang berkelanjutan.
“Indonesia sudah mencetak capaian strategis dalam hilirisasi nikel. Namun, agar proses ini benar-benar berkelanjutan dan inklusif, perlu diperkuat dengan tata kelola yang baik dan pembangunan ekosistem industri yang komprehensif,” ujar Djoko kepada wartawan, Rabu (26/6/2025).
Djoko menyebut, sejak larangan ekspor bijih nikel diperketat pada 2020, ekspor nikel olahan meningkat tajam dari Rp17 triliun pada 2014 menjadi Rp510 triliun pada 2023. Indonesia kini tercatat sebagai eksportir nikel olahan terbesar di dunia.
Ia menegaskan, arah hilirisasi ke depan harus fokus pada produk akhir seperti baterai EV dan stainless steel, bukan hanya produk setengah jadi. Nilai tambah dari produk berbasis baterai disebutnya dapat mencapai ratusan kali lipat dibandingkan bijih mentah.
Sebagai contoh, mixed hydroxide precipitate (MHP) bernilai hingga 120 kali lipat dari bijih nikel, sementara sel baterai EV bisa mencapai 642 kali lipat.
“Untuk itu, kami mendorong pemerintah memperkuat tata kelola lingkungan, memperluas pelatihan SDM lokal, serta mendorong transfer teknologi agar industri hilir nikel memberikan manfaat maksimal bagi Indonesia,” lanjutnya.
Baca Juga: Indonesia Siap Jadi Pusat Manufaktur EV Asia hingga Dunia
Djoko menekankan pentingnya pemanfaatan nikel kelas satu (high grade) untuk produksi baterai EV, bukan hanya untuk industri stainless steel, agar potensi nikel dapat dioptimalkan dalam mendukung transisi energi dan target Net Zero Emissions (NZE) 2060.
Ia juga mendorong penggunaan teknologi bersih seperti High Pressure Acid Leach (HPAL), serta penerapan standar Environment, Social, and Governance (ESG) di seluruh rantai pasok.
“Transportasi masa depan harus ditopang oleh industri yang berkelanjutan. Nikel kita harus menjadi tulang punggung transisi energi hijau, bukan sekadar komoditas ekspor jangka pendek,” tutup Djoko.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement