Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Gagasan Arah Ekonomi Indonesia Jelang 80 Tahun Indonesia Merdeka

Gagasan Arah Ekonomi Indonesia Jelang 80 Tahun Indonesia Merdeka Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care (HAC) dan Haidar Alwi Institute (HAI), merasa terpanggil untuk menyampaikan pandangan jujur dan berimbang tentang masa depan ekonomi Indonesia menjelang usia ke-80 kemerdekaannya.

Baginya, ulang tahun bangsa bukan sekadar perayaan, melainkan panggilan sejarah untuk menata ulang arah pembangunan agar lebih berdiri di atas kekuatan sendiri.

Membaca Arah Dunia: Dua Kekuatan, Satu Kesempatan

Selama lebih dari lima dekade, dunia berada dalam hegemoni Amerika Serikat, penguasa dolar, pengendali energi, dan pengatur lalu lintas perdagangan global. Namun sejak 2017, setelah 35 tahun membangun kekuatan ekonominya secara sistematis dan tenang, Tiongkok mulai menyaingi dominasi tersebut. Pasca-COVID, negara itu melesat dalam teknologi, kesehatan, militer, hingga sistem pembayaran global melalui konsolidasi BRICS.

"Pertarungan Amerika dan Tiongkok bukan sekadar persaingan ekonomi, tapi benturan dua sistem besar. Dan Indonesia harus memilih: menjadi penonton, atau ikut menentukan arah masa depan dunia," ujar Haidar Alwi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (4/7/2025) malam.

Ia mencermati bahwa strategi pelemahan dolar yang digunakan Amerika bertujuan menghidupkan kembali industrinya. Ini membuka celah bagi negara-negara seperti Indonesia untuk membangun fondasi baru, asal ada keberanian untuk berubah.

Amerika Tidak Lagi Andalkan Senjata

Haidar Alwi menyoroti bagaimana Amerika sebelumnya mencoba menghidupkan kembali ekonomi militernya melalui ketegangan geopolitik. Salah satunya adalah serangan terhadap Iran pada masa Trump. Langkah itu sempat diduga akan menjadi alat untuk mendorong permintaan senjata, sebagaimana pola lama Amerika di berbagai konflik.

Namun hasilnya justru sebaliknya. "Waktu menyerang Iran, yang muncul bukan legitimasi, tapi kecaman. Bukan hanya dari dunia internasional, tapi juga dari dalam negeri mereka sendiri," jelas Haidar Alwi. Dunia tak lagi menyambut perang dengan dukungan. Maka strategi ekonomi menjadi pilihan: bukan lagi menguasai dunia dengan senjata, tetapi dengan harga yang lebih kompetitif.

Pelemahan Dolar: Strategi atau Krisis?

Haidar Alwi menyampaikan bahwa pelemahan dolar bukanlah tanda kelemahan Amerika, melainkan strategi sadar untuk menghidupkan ekspor dan industri dalam negeri. Ketika produk Amerika tak bisa bersaing dengan barang-barang murah dari Tiongkok, maka yang paling logis adalah membuat dolar lebih murah.

"Dolar bisa turun ke Rp14.000 bahkan Rp13.000. Ini bukan karena rupiah menguat, tapi karena Amerika sedang membalik strategi mereka," ungkapnya.

Analisa ekonomi mendukung hal ini:

  • Dolar mulai kehilangan daya tekan sebagai alat geopolitik.
  • Negara-negara BRICS memperkuat perdagangan non-dolar.
  • The Fed bersikap lebih longgar, membuka peluang depresiasi mata uang.
  • Produk industri AS butuh daya saing baru.

"Bagi Indonesia, pelemahan dolar memberi dampak ganda: produk AS akan lebih murah dan pasar lokal bisa terganggu, jika tak ada perlindungan yang bijak dan adil. Namun, jika dikelola dengan cerdas, momentum ini juga bisa membuka ruang fiskal dan memperkuat sektor produksi dalam negeri," papar R Haidar Alwi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: