Kredit Foto: Antara/REUTERS/Carlos Barria
Di tengah ancaman penerapan tarif 32 persen atas seluruh produk ekspor Indonesia ke Amerika Serikat (AS) mulai 1 Agustus 2025, pemerintah Indonesia didorong untuk tidak hanya bersikap defensif tetapi juga membangun jaringan perdagangan baru dan skema tarif preferensial dengan negara-negara di Asia Selatan, Pasifik, dan Afrika.
Liza Camelia Suryanata, Kepala Riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, menyatakan bahwa strategi Tariff 2.0 yang digagas Presiden AS Donald Trump bukan hanya ancaman jangka pendek, melainkan bagian dari pergeseran arsitektur perdagangan global yang menuntut respons sistemik.
“Tarif hanyalah puncak gunung es dari dinamika global saat ini. Yang sesungguhnya kita hadapi adalah perubahan arsitektur perdagangan dunia,” ujar Liza kepada Warta Ekonomi, Selasa (8/7/2025).
Baca Juga: Trump Semaunya Naikkan Tarif Impor, Tapi Negara Lain Dilarang Beri Serangan Balasan
Kebijakan Tariff 2.0 menyasar negara-negara yang dianggap tidak memberi konsesi dagang setara, termasuk Indonesia. Washington menilai adanya hambatan non-tarif dalam kebijakan Indonesia, seperti kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE), serta regulasi impor yang proteksionis.
Menurut Liza, tekanan dari AS dapat berdampak pada daya saing sektor ekspor nasional seperti tekstil, furnitur, elektronik, dan komponen otomotif. Jika kebijakan tarif tetap diberlakukan, eksportir berisiko kehilangan pasar dan Indonesia menghadapi kemungkinan pelemahan rupiah serta keluarnya modal asing.
Baca Juga: Airlangga Kejar Trump ke Washington Usai Tarif RI Naik Jadi 32%
Pemerintah Indonesia telah mengajukan sejumlah opsi diplomatik untuk menekan dampak tarif, termasuk menawarkan peningkatan nilai impor barang dan energi dari AS. Namun, menurut Liza, Indonesia perlu melangkah lebih jauh dengan memperluas jaringan perdagangan di luar AS.
“Indonesia bisa mulai membangun skema preferensi tarif dengan negara-negara berkembang di Asia Selatan, Pasifik, dan Afrika. Ini menjadi peluang memperluas pasar ekspor untuk produk manufaktur seperti pangan olahan, otomotif ringan, dan tekstil,” jelasnya.
Sebagai pembanding, Tiongkok telah mengambil langkah strategis dengan menghapus tarif impor bagi hampir seluruh produk dari negara-negara termiskin di Afrika. Kebijakan ini dinilai memperkuat pengaruh Tiongkok di kawasan Global South melalui diplomasi dagang.
Liza juga mendorong Indonesia untuk memperkuat peran dalam forum BRICS dan memperluas penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional guna mengurangi dominasi dolar AS yang kini semakin sering digunakan sebagai alat tekanan geopolitik.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement