Kredit Foto: Antara/REUTERS/Tom Brenner
Pemerintah Amerika Serikat (AS) resmi memberlakukan tarif impor sebesar 32% terhadap produk asal Indonesia mulai 7 Juli 2025. Angka tersebut sesuai dengan pengumuman awal yang disampaikan pada April lalu, menandakan bahwa proses negosiasi bilateral selama tiga bulan terakhir belum menghasilkan terobosan berarti.
Sebaliknya, Vietnam mencuri perhatian sebagai negara pertama yang mencapai kesepakatan dagang konkret dengan pemerintahan Presiden Donald Trump. Negeri tersebut berhasil menurunkan beban tarif dari 46% menjadi 20% dengan imbalan pembukaan pasar domestik untuk produk-produk asal AS.
“Vietnam memberikan tarif 0% untuk produk-produk AS senilai US$13 miliar. Itu artinya AS mendapat keuntungan sekitar US$3 miliar per tahun dalam bentuk penurunan defisit perdagangan,” ujar Peneliti Ekonomi CSIS, Dandy Rafitrandi, dalam diskusi publik bertajuk “Merespons Kebijakan Tarif Trump: Mendayung di Antara Banyak Karang”, Kamis (10/7/2025).
Baca Juga: Berlaku 1 Agustus, Airlangga Intensifkan Negosiasi Selama Tiga Pekan dengan AS
Menurut Dandy, pendekatan Vietnam dinilai agresif dan pragmatis. Pemerintah di Hanoi fokus pada kepastian jangka panjang dan manfaat langsung bagi Washington. Sebaliknya, Indonesia hanya mampu menyodorkan insentif jangka pendek yang bersifat terbatas, tanpa skema imbal balik yang tegas.
Peneliti CSIS lainnya, Riandy Laksono, menilai Indonesia perlu merespons dengan pendekatan strategis, termasuk membentuk koalisi dengan negara-negara lain yang juga terdampak kebijakan tarif Trump. Ia menekankan pentingnya menjaga prinsip perdagangan terbuka dan non-diskriminatif agar posisi Indonesia di rantai pasok global tidak terganggu.
“Indonesia harus menghindari perjanjian yang berat sebelah dan diskriminatif, karena itu bisa membahayakan posisi kita dalam jangka panjang,” jelas Riandy.
Baca Juga: AS Kenakan Indonesia Tarif Resiprokal 32 Persen, Pemerintah Diminta Lindungi Industri Dalam Negeri
Sebagai langkah konkret, CSIS menyarankan agar pemerintah lebih aktif mengoptimalkan kerangka kerja sama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melibatkan ASEAN dan mitra besar seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, serta Selandia Baru.
“Kalau negara-negara di RCEP bisa menahan diri untuk tidak membalas atau menaikkan tarif secara reaktif, pertumbuhan ekonomi ASEAN bisa tetap positif hingga 2%,” ujar Dandy.
Sebelumnya, Indonesia telah mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington DC, dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, guna membuka kembali ruang negosiasi tarif dengan AS. Namun hingga kini, belum ada pengumuman resmi mengenai hasil perundingan tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement