Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Lebih lanjut, Reni menjelaskan bahwa pada sektor batako, Ditjen IKMA telah memfasilitasi kerja sama dengan PT PLN untuk memanfaatkan limbah FABA (fly ash dan bottom ash) sebagai bahan baku alternatif yang lebih ramah lingkungan. “Kami ingin agar sektor IKM Batako tidak hanya bergantung pada bahan baku konvensional, tetapi juga bisa memanfaatkan limbah industri besar seperti FABA, yang selain berdampak positif bagi keberlangsungan lingkungan, juga bisa mengurangi biaya bahan baku,” jelasnya.
Selanjutnya, upaya dekarbonisasi di sektor industri kerajinan nasional terus diperkuat melalui inovasi pemanfaatan bahan baku ramah lingkungan. Salah satu terobosan yang tengah menjadi sorotan adalah penggunaan limbah bambu sebagai bahan utama produksi kerajinan, mulai dari flooring, kemasan, furnitur, hingga tekstil.
Pemanfaatan limbah bambu dinilai strategis karena bukan hanya mendukung pengurangan emisi karbon, tetapi juga membuka peluang pasar ekspor yang menjanjikan. Berdasarkan data pasar internasional, nilai pasar produk bambu global pada tahun 2024 tercatat mencapai USD74 miliar. Angka ini diproyeksi melonjak signifikan menjadi USD118,3 miliar pada tahun 2034, seiring dengan tren konsumsi bahan terbarukan di berbagai negara.
Sementara itu, pada sektor logam, Reni menegaskan bahwa Ditjen IKMA terus mendorong kemitraan antara IKM logam dengan industri besar agar pelaku IKM dapat secara bertahap memenuhi standar dekarbonisasi dan industri hijau. Menurutnya, kolaborasi ini sangat penting untuk mempercepat transformasi IKM menuju industri rendah karbon yang memiliki daya saing tinggi dan mampu bermitra dengan sektor industri besar.
Mengingat keterbatasan sumber daya yang dihadapi pelaku IKM, Ditjen IKMA juga menerapkan skema kolaboratif dengan Pemerintah Daerah melalui skema pendanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal yang dapat digunakan secara bersama-sama oleh kelompok usaha di berbagai sentra IKM. Fasilitasi peralatan produksi tepat guna juga diberikan secara bertahap melalui skema bantuan pemerintah.
Adapun upaya selanjutnya melakukan penyusunan pedoman penyulingan yang ramah lingkungan pada produksi minyak atsiri, seperti pemanfaatan limbah produksi menjadi bahan bakar alternatif maupun pupuk, teknologi efisiensi energi tungku pembakaran, serta mencegah emisi karbon bebas dengan Carbon Capture Storage.
Reni menekankan pentingnya pendekatan yang tidak hanya bersifat regulatif tetapi juga memberikan insentif nyata kepada pelaku IKM. “Harapan kami, dekarbonisasi bisa terus direkatkan dengan industri hijau. Kalau pelaku IKM diberi pemahaman bahwa prinsip industri hijau dapat menurunkan cost dan memberikan insentif, maka mereka akan tertarik menerapkan. Artinya, keberlanjutan dan efisiensi bisa berjalan bersama,” tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Tag Terkait:
Advertisement