Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menyoroti potensi celah dalam penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang menunjuk marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22.
Ia menilai regulasi tersebut masih menghadapi tantangan dalam pelaksanaannya, terutama terkait verifikasi omzet pedagang dan potensi penghindaran pajak oleh pelaku usaha digital.
“Bagi marketplace, tantangan terberat adalah memetakan pedagang yang omzetnya di atas Rp500 juta karena hanya mengandalkan surat pernyataan. Ini sifatnya self-assessment dan sangat tergantung pada kesadaran pelaku usaha,” kata Nailul kepada Warta Ekonomi, Rabu (16/7/2025).
Baca Juga: Pajak E-Commerce Bisa Jadi Bumerang? CORE Minta Pemerintah Gak Gegabah!
Ia mengungkapkan dua pola penghindaran yang berpotensi dilakukan. Pertama, pelaku usaha dapat membagi omzet tahunan ke beberapa toko di berbagai platform agar tidak melampaui ambang batas Rp500 juta per tahun. Kedua, penjualan dialihkan ke media sosial seperti WhatsApp, Instagram, atau TikTok, yang tidak terdeteksi sistem pelaporan marketplace.
Menurut Nailul, tren transaksi barang melalui media sosial yang kian meningkat akan menyulitkan otoritas pajak dan marketplace dalam melacak pendapatan sebenarnya dari pedagang daring.
Baca Juga: Pajak E-Commerce Jadi Wujud Perlakuan Setara bagi UMKM
Untuk menutup celah tersebut, ia menyarankan sinkronisasi data lintas platform dengan menggunakan Nomor Induk Berusaha (NIB) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai identitas tunggal pedagang.
“Bisa jadi satu penjual punya dua hingga tiga toko di platform berbeda. Artinya, harus ada sinkronisasi data antar platform yang diatur rinci, misalnya pakai NIB atau NIK,” ujar Nailul.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ida Umy Rasyidah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement