Pemohon Wafat, Uji Larangan Rangkap Jabatan untuk Wakil Menteri di MK Tak Lanjut Dipertimbangkan
Kredit Foto: Sahril Ramadana
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak dapat diterima. Permohonan ini diajukan oleh Juhaidy Rizaldy Roringkon, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES), dan diperiksa dalam Perkara Nomor 21/PUU-XXIII/2025. Putusan dibacakan dalam sidang pleno terbuka di Ruang Sidang MK pada Kamis, 17 Juli 2025, dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra, Mahkamah menjelaskan bahwa Pemohon telah meninggal dunia. Hal tersebut dibuktikan melalui surat keterangan dari RS Dr. Sutoyo, Jakarta, tertanggal 22 Juni 2025 pukul 12.55 WIB. Karena pengujian undang-undang di MK menuntut adanya kerugian hak konstitusional yang relevan dan berkesinambungan dengan subjek pemohon, wafatnya Pemohon membuat syarat kedudukan hukum (legal standing) tidak lagi terpenuhi. Mahkamah menegaskan bahwa salah satu ukuran pemberian kedudukan hukum adalah: apabila permohonan dikabulkan, kerugian konstitusional yang dialami pemohon akan berhenti terjadi. Dalam perkara ini, karena Pemohon telah tiada, rangkaian syarat kumulatif yang harus dibuktikan untuk menunjukkan adanya kerugian konstitusional tidak dapat lagi dipenuhi, sehingga permohonan dinyatakan tidak dapat diterima.
Substansi permohonan yang diajukan Juhaidy sebelumnya menyoal Pasal 23 UU Kementerian Negara. Pasal tersebut melarang menteri merangkap jabatan sebagai pejabat negara lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun swasta, serta sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD. Menurut Pemohon, pembatasan itu seharusnya tidak hanya berlaku bagi menteri, tetapi juga bagi wakil menteri. Ia mendalilkan bahwa ketiadaan larangan eksplisit bagi wakil menteri telah menormalisasi praktik rangkap jabatan dalam penyelenggaraan pemerintahan mutakhir.
Baca Juga: Wamenkop Khawatir Koperasi Desa Untung Tapi Tak Turunkan Angka Kemiskinan
Rangkap jabatan—yakni situasi ketika satu orang menduduki lebih dari satu posisi pada waktu bersamaan, baik di bidang yang sama maupun berbeda—dipandang Pemohon sebagai celah yang berpotensi memicu penyalahgunaan kewenangan dan konflik kepentingan. Walaupun tidak otomatis masuk ranah tindak pidana, kondisi ini dapat memengaruhi integritas pengambilan keputusan publik, termasuk perlindungan kepentingan masyarakat dan, dalam konteks badan usaha, kepentingan pemegang saham. Karena itu, Pemohon menilai diperlukan pembacaan yang lebih ketat terhadap aturan rangkap jabatan untuk menjamin tata kelola pemerintahan yang bersih.
Dalam argumentasinya, Pemohon merujuk Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019. Dalam pertimbangan pada perkara tersebut, Mahkamah pernah menegaskan bahwa wakil menteri secara fungsional berada dalam orbit jabatan menteri yang diangkat Presiden, sehingga layak tunduk pada pembatasan serupa, khususnya terkait rangkap jabatan pada perusahaan negara maupun swasta. Dengan dasar ini, Pemohon memohon agar MK menyatakan frasa “Menteri” dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan mencakup “Menteri dan Wakil Menteri”. Jika dikabulkan, norma yang dihasilkan akan berbunyi: “Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai peraturan perundang-undangan; komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta; atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.”
Dengan meninggalnya Pemohon sebelum perkara mencapai pemeriksaan substansial, Mahkamah tidak melanjutkan penilaian atas dalil konstitusionalitas tersebut. Putusan ini menutup upaya pengujian pada perkara dimaksud, namun isu rangkap jabatan wakil menteri masih berpotensi menjadi diskursus hukum tata negara apabila kelak diajukan kembali oleh pihak yang memiliki kedudukan hukum yang sah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Istihanah
Editor: Istihanah
Tag Terkait:
Advertisement