Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Negara Tak Bisa Batalkan HGU di Kawasan Hutan yang Belum Ditetapkan

Negara Tak Bisa Batalkan HGU di Kawasan Hutan yang Belum Ditetapkan Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Peneliti di Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA ALAM), Muhamad Zainal Arifin menyoroti kekeliruan umum dalam memahami status kawasan hutan dan hubungannya dengan hak atas tanah seperti Hak Guna Usaha (HGU).

Menurutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45/PUU-IX/2011 telah menjadi tonggak penting dalam sejarah hukum kehutanan Indonesia. Dalam putusan tersebut, MK secara tegas menyatakan bahwa penunjukan kawasan hutan tidak memiliki kekuatan hukum yang konstitutif untuk menjadikan suatu wilayah sebagai kawasan hutan secara sah. Namun, hingga kini, masih banyak pemangku kepentingan yang belum memahami atau bahkan menolak implikasi dari putusan tersebut.

Baca Juga: Penertiban Kawasan Hutan Harus Kedepankan Kepastian Hukum, Keadilan dan Data

“Penunjukan kawasan hutan oleh pemerintah sifatnya hanya deklaratif, bukan konstitutif. Ini berarti, selama belum dilakukan penetapan kawasan hutan secara sah sesuai prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, status hukum wilayah tersebut belum final,” tegas Zainal, dilansir Sabtu (3/5).

Dalam sistem hukum kehutanan nasional, pengukuhan kawasan hutan harus melalui empat tahapan: penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan. Tanpa melalui tahapan akhir berupa penetapan oleh pemerintah, kawasan hutan tidak dapat diklaim sah menurut hukum.

“Banyak yang salah kaprah menganggap peta penunjukan sebagai peta hukum. Padahal, dalam kerangka hukum positif, penetapan adalah satu-satunya bentuk legalitas kawasan hutan yang diakui secara konstitutif,” jelasnya.

Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 memperkuat prinsip ini dengan menyatakan bahwa tanpa proses penetapan, wilayah yang hanya didasarkan pada SK Penunjukan Kawasan Hutan belum dapat dinyatakan sebagai kawasan hutan secara hukum.

Seperti diketahui, sejauh ini Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) telah menyita lebih dari 1 juta hektare lahan sawit yang dinilai illegal dan masuk kawasan hutan. Bahkan, ada sejumlah lahan sawit yang sudah mengantongi HGU juga turut disita. Hal tersebut kemudian menimbulkan keresahan di masyarakat terutama pelaku usaha sektor sawit yang lahannya diklaim masuk kawasan hutan. Padahal kawasan hutan yang dijadikan dasar Satgas PKH untuk tugasnya diduga menggunakan data Kementerian Kehutanan yang belum ditetapkan. 

Lebih jauh, Zainal menjelaskan masih banyak pihak yang mencoba menjadikan Pasal 81 UU No. 41 Tahun 1999 sebagai pembenaran untuk mempertahankan rezim penunjukan. Pasal tersebut menyatakan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan sebelum UU ini berlaku dinyatakan tetap berlaku. Namun, menurut Zainal, penafsiran tersebut tidak tepat.

“Pasal peralihan itu sifatnya sementara dan hanya berlaku selama SK penunjukan belum berubah. Faktanya, sejak UU No. 41 Tahun 1999 diundangkan, seluruh SK penunjukan kawasan hutan di seluruh provinsi telah mengalami perubahan atau penggantian. Maka rujukan hukumnya harus beralih ke pasal batang tubuh, yakni Pasal 14 dan Pasal 15,” jelasnya.

Artinya, untuk menetapkan kawasan hutan pasca tahun 1999, tidak lagi cukup hanya dengan penunjukan. Pemerintah wajib melakukan pengukuhan secara formal dan sah sesuai hukum yang berlaku.

Penegasan tentang pentingnya penetapan juga tampak dalam praktik peradilan, salah satunya melalui Putusan Mahkamah Agung No. 62 PK/PID.SUS/2015 yang membebaskan terdakwa Drs. Melanthon Manurung dari dakwaan pidana kehutanan. MA menilai bahwa tidak cukup hanya dengan SK penunjukan untuk membuktikan bahwa suatu tanah adalah kawasan hutan.

Lebih lanjut, Zainal menyoroti kekeliruan dalam memahami PP No. 40 Tahun 1996 (yang kini telah dicabut dan digantikan oleh PP No. 18 Tahun 2021). Beberapa pihak menafsirkan bahwa HGU tidak bisa diberikan pada tanah dalam kawasan hutan, padahal regulasi kehutanan saat itu, yaitu UU No. 5 Tahun 1967 menyatakan bahwa dasar kawasan hutan adalah penetapan, bukan penunjukan.

“HGU yang diberikan secara sah sebelum ada penetapan kawasan hutan tetap memiliki kekuatan hukum. Penunjukan administratif tidak bisa mengesampingkan keberadaan hak atas tanah yang telah diberikan negara sendiri,” tegasnya.

Dia mengungkapkan putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 juga mempertegas bahwa penguasaan negara atas kawasan hutan tidak boleh mengabaikan hak-hak masyarakat dan pihak ketiga yang sah menurut hukum. Negara wajib menyelesaikan hak-hak tersebut terlebih dahulu sebelum menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan hutan.

Hal serupa ditegaskan dalam PP No. 23 Tahun 2021. Dalam Pasal 1 angka 5, disebutkan bahwa Kawasan Hutan Negara adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak dibebani hak atas tanah.

“Artinya, negara tidak bisa serta-merta menetapkan kawasan hutan di atas tanah yang sudah memiliki HGU, hak milik, atau hak pakai, kecuali hak-hak tersebut dicabut secara sah terlebih dahulu,” ungkap Zainal.

Baca Juga: Dorong Swasembada Pangan, Pemerintah Genjot Koperasi Desa di Kawasan Hutan

Dengan dasar-dasar hukum dan putusan pengadilan tersebut, Zainal menyimpulkan bahwa anggapan bahwa HGU otomatis gugur karena berada di kawasan hutan yang ditunjuk, tidak memiliki kekuatan hukum yang sah.

“Negara harus taat asas dan tertib hukum. Tidak bisa menggunakan pendekatan kekuasaan untuk membatalkan hak warga hanya karena sebuah peta penunjukan administratif,” tandasnya.

Baca Juga: Bagaimana Nilai Gizi Minyak Sawit?

Baca Juga: Beragam Manfaat dan Keunggulan Hilirisasi Oleokimia Berbasis Sawit

Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang mengatakan, apabila HGU lebih dahulu terbit daripada penetapan kawasan hutan maka HGU itu yang akan menang.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: