Kredit Foto: Istimewa
Konsep pertanian regeneratif di Indonesia belakangan mendapat perhatian. Konsep pertanian yang mengedepankan keseimbangan di seluruh ekosistem itu dipandang jauh lebih ramah lingkungan dan memberi sejumlah manfaat ketimbang cara bertani modern yang pada taraf tertentu dipandang dapat memicu sejumlah masalah serius.
Tak hanya pada lahan pertanian, namun cara bertani secara modern juga berdampak pada emisi gas rumah kaca. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat sektor pertanian merupakan menyumbang 20% emisi gas rumah kaca global.
“Pertanian regeneratif itu merupakan seperangkat prinsip dan praktik pertanian untuk merehablitasi dan meningkatkan seluruh ekosistem pertanian yang berfokus kepada kesehatan tanah yang ditujukan untuk meningkatkan serapan karbon (CO2),” kata Ahli Ekologi Tanah, Universitas Brawijaya Prof.
Kurniatun Hairiah dalam pemaparannya dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Penelitian Kaleka (NGO Lingkungan Berkelanjutan) di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat Selasa (22/7/2025).
Menurut Kurniatun pertanian regeneratif punya beberapa prinsip penting seperti menekankan prinsip peningkatan kualitas lahan dengan merehabilitasi dan merevitalisasi seluruh ekosistem seperti lahan dan air.
Selain itu, pertanian regeneratif juga berfokus pada pengelolaan air, minimum pupuk dan pemeliharaan serta biodiversitas lahan pertanian yang sehat.
“Peningkatan kesehatan tanah kadar C dan biomassa tanaman lebih besar dan, kualitas produk pertanian dan harga jual akan meningkat,” tuturnya.
Sebagai perbandingan, pertanian modern seringkali bergantung pada pupuk kimia dan pestisida, sementara hewan ternak dikandangkan dan tujuan dari pertanian modern semata-mata hanya berfokus pada ekonomi saja.
Sementara itu pertanian regeneratif justru menerapkan prinsip yang berbanding terbalik, artinya konsep ini sama sekali tidak bergantung pada pupuk dan bahan kimia. Praktik pertanian regeneratif sepenuhnya bergantung pada alam.
“Pertanian regeneratif menggabungkan ternak yang bebas di luar kandang serta memprioritaskan penyerapan CO2 dan mengurangi emisi gas rumah kaca,” ujarnya.
Sementara itu Koordinator Sistem Pangan Kaleka Mila Oktavia mengatakan di beberapa daerah penerapan konsep pertanian regeneratif disambut antusias masyarakat, salah satunya adalah para petani di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.
Baca Juga: 16 Negara Belajar Pertanian Kopi dan Kakao Berkelanjutan di Indonesia
Bahkan para petani disana mulai mengubah tanaman tinggal menjadi kebun kelapa sawit regeneratif berkelanjutan. Dimana program itu menyasar sekitar 149 petani dengan total lahan pertanian regeneratif yang mencapai 221,68 hektare. Dimana jumlah itu naik signifikan setiap tahun.
Dari hasil analisis yang dilakukan pihaknya diketahui bahwa praktik pertanian regeneratif berdampak langsung pada kondisi lahan pertanian yang tentu saja berimbas pada jumlah dan kualitas hasil panen.
“Cacing tanah pada plot regeneratif mengalami peningkatan 34 persen setelah satu tahun menjalankan praktik regeneratif. Aktivitas cacing di dalam tanah meningkatkan makropori tanah sehingga tingkat kegemburan tanah meningkat. Unsur hara pada air masuk ke dalam pori tanah untuk diserap oleh akar tanaman,” ujarnya.
Dari hasil pemantauan di lapangan lanjut Mila Oktavia praktik pertanian regeneratif berdampak sangat positif, salah satunya membuat kondisi biologis tanah meningkatkan populasi cacing tanah yang berimbas langsung pada kesuburan lahan pertanian.
“Kondisi fisik tanah yang lebih gembur karena penggunaan pupuk organik. Selain itu kondisi tanah juga lebih optimal untuk pertumbuhan tanaman (efisiensi hara),” tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement