IAW Dorong Pemerintah Perkuat Perlindungan Kawasan Konservasi dan Hak Masyarakat Adat
Kredit Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Kawasan konservasi yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi kelestarian hutan Indonesia justru diduga menjadi titik rawan konflik agraria dan penguasaan lahan secara tidak sah.
Pengelolaan kawasan lindung seperti Taman Nasional, Suaka Margasatwa, dan Register Hutan, bahkan lebih sering digunakan sebagai instrumen kekuasaan ketimbang pelestarian.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menegaskan label konservasi tidak serta-merta menjamin perlindungan terhadap wilayah hutan. Ia mengkritik keras pendekatan negara yang kerap menutupi konflik historis di balik kebijakan kehutanan.
Baca Juga: IAW Sebut Dugaan 1,3 Miliar Data SIM Bocor jadi Ancaman Digital Terbesar di Dalam Negeri
"IAW tidak berhenti bertanya, apakah kawasan lindung itu benar-benar hendak dilindungi, atau justru dipertahankan demi kepentingan mereka yang pernah berkuasa? Semoga Presiden Prabowo Subianto sudi membenahi luka lama tersebut," kata Iskandar, Selasa (12/8/2025).
Menurutnya, konflik di kawasan konservasi menunjukkan ketegangan antara klaim negara atas tanah, pengakuan hak masyarakat adat, dan sistem hukum formal yang tidak berpihak. Karena itu, ia mengingatkan agar pemerintah tidak mengulangi kesalahan lama saat menyusun kebijakan-kebijakan baru, terutama terkait industri kelapa sawit.
"Jika tidak, maka niat baik Presiden Prabowo terkait mengunggulkan komoditas sawit tidak akan maksimal terwujud," tegasnya.
Iskandar menilai bahwa akar dari persoalan ini terletak pada kebijakan masa Orde Baru yang menetapkan banyak kawasan adat sebagai hutan negara atas nama konservasi, namun justru menjadi pintu masuk eksploitasi industri ekstraktif. Menurutnya, deforestasi dan kerugian negara hanyalah akibat dari tata kelola yang menyimpang dari esensinya.
"Catatan ini bukan sekadar laporan teknis, melainkan rekonstruksi historis dan analisis tajam atas legal-formalitas yang membuat hutan kita mudah berpindah tangan secara senyap. Itu seharusnya yang terutama dibenahi, sembari Satgas PKH melakukan penertiban. Jika tidak, Satgas terjebak pada model masa lalu!" ucap Iskandar.
Dalam penilaiannya, berbagai regulasi yang ada seperti UUPA No. 5/1960, Tap MPR IX/2001, dan UU No. 5/1990 sebenarnya memberikan pengakuan terhadap hak masyarakat adat. Namun dalam praktiknya, konsultasi sosial-budaya kerap diabaikan, sebagaimana terjadi dalam konflik di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang melibatkan masyarakat Talang Mamak.
Contoh konkret konflik legal dan historis dapat ditemukan pada kawasan Register 40 di Sumatera Utara. Kawasan ini awalnya direncanakan sebagai hutan berdasarkan Gouvernements Besluit No. 50 Tahun 1924 yang mencakup 13 desa adat. Namun, dokumen tersebut tidak memiliki dasar hukum kuat karena tak tercantum dalam Staatsblad Hindia Belanda. Status sebagai hutan negara baru diberikan pada masa Orde Baru, tanpa melibatkan pemilik hak ulayat.
"Itu seharusnya jadi alarm penataan kembali peta hutan Indonesia. Tapi, itu tidak pernah dilakukan. Momentum pembenahannya justru ideal di masa pemerintahan saat ini," katanya.
Menurut Iskandar, hingga kini belum ada SK resmi yang secara spesifik menetapkan Register 40 sebagai kawasan hutan. SK No. 44/Kehut-II/2005 telah dibatalkan Mahkamah Agung, dan SK pengganti No. 579/Menhut-II/2014 pun tidak mencantumkan nama kawasan tersebut.
"Uniknya SK nomor 579 itu juga tidak ada secara khusus menyebut Register 40. Jadi hutan Register 40 itu tidak ada SK-nya," ujarnya.
Kondisi serupa juga ditemukan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Kawasan ini awalnya seluas 38.576 hektare, lalu diperluas menjadi 83.068 hektare. Namun, hampir separuh dari wilayah itu kini telah menjadi kebun sawit ilegal. Hingga Agustus 2025, Satgas Penataan Kawasan Hutan (PKH) baru mengembalikan 712 hektare untuk direstorasi.
"Ironinya, dugaan korupsi dan penerbitan sertifikat ilegal turut memperumit penanganannya, dimana hanya sekitar 12.561 ha yang tersisa dari fungsi asli hutan," ujarnya.
Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang terbentang di Riau dan Jambi juga tidak lepas dari masalah serupa. Meskipun memiliki luas 127.698 hektare berdasarkan SK Menhut No. 539/Kpts-II/1995, pengakuan terhadap tanah adat Talang Mamak hampir tak terlihat. Bahkan, hasil audit BPK pada 2019 menyebutkan bahwa 14.500 hektare dari kawasan ini telah dialihfungsikan menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) tanpa pengawasan memadai. "Itu mencerminkan lemahnya pengawasan," imbuhnya.
Berdasarkan analisis IAW terhadap temuan BPK, ketiga kawasan tersebut mengalami kerusakan yang sistematis dan melibatkan banyak pihak. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 432 miliar di Register 40, Rp 545 miliar di TNTN, dan Rp 215 miliar di TNBT. Iskandar melihat pola berulang yang mencerminkan ketidakadilan hukum.
"Ini tentu patut dihindari para pembantu Presiden. Tetapi, mengapa mereka tidak melakukannya? Tentu ada sesuatu hal yang belum mereka pahami! Fatamorgana hukum terlihat jelas, dimana rakyat kecil dijerat, sementara korporasi besar lolos, itulah realitas garang dan ini sudah disadari BPK," tegasnya.
Ia juga memaparkan berbagai pola penyimpangan hukum, mulai dari pemalsuan peta, manipulasi status kawasan, hingga penggunaan kemitraan untuk menutupi pelanggaran. Bahkan, kriminalisasi terhadap masyarakat adat disebut masih terjadi.
"Satgas harus melakukan yang esensif supaya masyarakat merasa bahwa peraturan Presiden Prabowo yang melahirkan Satgas PKH itu membumi, bukan malah seperti sekarang, yakni sudah mulai digugat oleh masyarakat di kabupaten Padanglawas Utara (Paluta) Sumatera Utara," jelasnya.
Baca Juga: IAW Kritik Danantara, Dorong Berbenah dan Tunjukkan Aksi Nyata
Sebagai langkah perbaikan, IAW mendorong audit forensik terhadap kawasan abu-abu dan izin alih fungsi yang meragukan. Ia juga menyerukan redefinisi konsep hutan, perubahan peran Satgas PKH menjadi fasilitator co-management, serta keterbukaan data izin dan audit. Selain itu, ia menekankan pentingnya pengakuan hak masyarakat adat melalui RUU Masyarakat Adat dan integrasi kearifan lokal dalam pengelolaan konservasi.
IAW menilai kawasan seperti Register 40, TNTN, dan TNBT bukan sekadar wilayah vegetasi, melainkan representasi dari warisan sejarah, identitas kultural, dan krisis ekologis yang belum terselesaikan.
"Presiden Prabowo Subianto diyakini punya peluang historis untuk mereset sejarah guna memulihkan hak rakyat, menjaga ekologi, dan mengakhiri warisan administrative violence terhadap kawasan hutan kita," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement