Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah Didorong Perbaiki Tata Kelola Ekosistem Digital Pendidikan

Pemerintah Didorong Perbaiki Tata Kelola Ekosistem Digital Pendidikan Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Bandung -

Kasus korupsi pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek kini memasuki fase penting setelah Mendikbudristek Nadiem Makarim dan tiga tersangka lainnya resmi dilimpahkan ke jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Jakarta untuk segera disidangkan.

Penyerahan ini menandai perkembangan signifikan dalam perkara yang diduga memanfaatkan program digitalisasi pendidikan sebagai celah korupsi.

Menanggapi hal itu, Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menegaskan persoalan Chromebook jauh melampaui tumpukan laptop di sekolah. Menurutnya, ada skema terstruktur yang memungkinkan aliran dana publik masuk ke tangan sejumlah korporasi, menandakan kebijakan digitalisasi bisa dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi pihak tertentu.

"Bayangkan ini, ada kebijakan bagus (digitalisasi sekolah) dibajak oleh sistem yang dirancang sempurna. Spesifikasi teknis dibuat “khusus” sehingga hanya vendor tertentu yang bisa masuk. Lalu, ada biaya “aktivasi” bernama CDM/CEU yang menjadi pintu bagi aliran dana," kata Iskandar, Jumat (14/11/2025).

Baca Juga: Kemendikdasmen Ukir Prestasi Global, Rumah Pendidikan Bawa Pulang Dua Silver Medals di ICXA 2025 London

Iskandar mengungkapkan struktur pelaku, mulai dari pejabat hingga perusahaan besar. Beberapa mantan pejabat dan staf khusus telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga membuka akses bagi berlangsungnya skema ini.

Di ranah korporasi, PT. D tercatat sebagai “Google Education Partner” eksklusif, yang memiliki kewenangan mengaktivasi CDM/CEU. Setiap Chromebook yang masuk sekolah harus melalui sistem mereka, menciptakan praktik vendor lock-in yang menutup persaingan

Selain itu, beberapa marketplace (Bl, Bh, dan lainnya) berperan sebagai saluran aliran dana BOS/DAK. Meski beberapa direktur sudah diperiksa, keterlibatan mereka dalam aliran dana tersebut masih menjadi pertanyaan.

Vendor dan principal pengadaan barang juga diperiksa untuk menelusuri dokumen pengiriman dan nomor seri perangkat.

"Keseluruhan nama lengkap dan penerima manfaatnya tentu akan terbuka dengan detail saat persidangan nanti," ungkap Iskandar.

Terkait klaim Kejaksaan Agung tentang pengembalian uang, Iskandar menegaskan bahwa hal itu tidak menghapus dugaan tindak pidana.

"Pengembalian parsial tidak boleh menghentikan penyidikan hingga akar masalahnya, yaitu kejahatan korporasi yang terstruktur, itu harus dibongkar," tegasnya.

Penolakan gugatan praperadilan Nadiem dianggap Iskandar sebagai kemenangan besar bagi Kejaksaan Agung. Pengadilan menilai penetapan tersangka sudah memenuhi syarat formil, memberi Kejaksaan ruang memperkuat berkas dan menyusun dakwaan.

Menurut Iskandar, strategi praperadilan Nadiem gagal total karena biasanya menjadi cara awal untuk membatalkan status tersangka. Namun, kemenangan formal ini tidak boleh membuat penyidik lengah.

"Justru ini adalah momentum untuk mendobrak lebih dalam. Fokus harus tetap pada pertanyaan inti, yakni bagaimana kebijakan di era kepemimpinannya, dengan segala kompleksitasnya, dapat berujung pada kerugian negara miliaran rupiah melalui skema korporasi yang canggih?" ujar Iskandar.

Iskandar memperingatkan agar euforia kemenangan formal tidak mengaburkan fokus pada inti kasus: hubungan antara kebijakan politik dan keuntungan korporasi yang menjadi aktor utama vendor lock-in. Menurutnya, penolakan praperadilan terhadap Nadiem adalah amunisi besar.

"Sekarang saatnya Kejagung membuktikan keseriusannya dengan tidak hanya mengusut peran individu Nadiem, tetapi terutama membongkar hingga ke akar-akarnya, aliran uang dan skema kejahatan korporasi yang terjadi," tegas Iskandar.

Ia menyoroti tiga kesalahan fatal yang harus dihindari diantaranya terjebak pada pelaku kecil: Kejaksaan harus menindak korporasi besar, bukan hanya individu, berhenti setelah uang dikembalikan: Pengembalian dana hanya pemulihan aset, bukan keadilan, tidak menelusuri arus keuangan yaitu aliran dana ke korporasi harus dibuktikan sebagai keuntungan tidak sah.

Baca Juga: Rata-Rata Rp4,80 juta per Bulan, Buruh Berpendidikan Tinggi dapat Gaji Lebih Besar Dua Kali Lipat Ketimbang Lulusan SD

Untuk membongkar skema secara menyeluruh, Iskandar menyarankan langkah konkret: audit forensik BPK/BPKP untuk membandingkan HPS dengan harga pasar, penelusuran PPATK untuk menelusuri aliran dana dari marketplace dan vendor hingga rekening mencurigakan atau shell company.

"Selanjutnya, menelusuri dokumen Google–PT. D melalui MLA agar kontrak eksklusif dapat terbuka, serta mengakses log aktivasi Google yang memuat data setiap perangkat yang diaktivasi PT. D," katanya

Iskandar menegaskan ini adalah pertarungan antara negara dan korporasi besar yang cerdik. Jika Kejaksaan hanya mengejar individu dan puas dengan pengembalian uang, sama saja hanya menangkap tikus kecil, sementara komandan di menara gading tetap bebas.

"Tuntaskan! Jerat korporasinya, bongkar skema bisnisnya, dan pastikan ini menjadi pelajaran berharga, jangan main-main dengan uang rakyat!" pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: