BPK dan Kejagung Bongkar Penyimpangan Lahan Negara, Potensi Kerugian Negara Triliunan Rupiah
Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Lahan negara yang seharusnya menjadi bagian dari Reforma Agraria selama lebih dari 20 tahun justru diduga dikuasai pengembang besar melalui praktik ilegal.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2008 menyebut 2.150 hektare dikuasai tanpa landasan hukum. Pada 2016, 1.500 hektare disewakan ilegal dengan potensi kerugian Rp 1,8 triliun. Tahun 2021, tercatat 1.243 hektare HGU aktif dibiarkan mangkrak. Puncaknya, audit 2023 menegaskan kerugian negara hingga Rp 3,4 triliun per tahun akibat pengalihan tanah langsung kepada pengembang.
Sejak 2008 hingga 2023, BPK mencatat berulang kali pola yang sama, yakni eks-HGU tidak kembali ke rakyat, melainkan dialihfungsikan menjadi komoditas bisnis. Penyimpangan yang ditemukan antara lain penyewaan tanah tanpa dasar hukum, kerja sama operasional yang cacat legalitas, hingga pengalihan langsung ke pengembang tanpa mekanisme sah.
Rangkaian temuan tersebut memperlihatkan jika tanah negara justru menjadi ajang perniagaan. Badan Pertanahan Negara (BPN) dan PTPN II disebut tidak hanya membiarkan, melainkan terindikasi ikut dalam praktik tersebut.
Salah satu sumber masalah adalah interpretasi BPN Sumatra Utara yang menyebut eks HGU sebagai “aset negara”. Padahal, Pasal 2 UUPA yang menegaskan tanah tersebut kembali kepada negara, Perpres 86/2018 memasukkannya ke Reforma Agraria, serta PP 18/2021 yang tidak mengakui eks-HGU sebagai objek komersial.
Baca Juga: HUT RI ke-80, Merah Putih dan Bendera Palestina Bakal Berkibar Bersama di 100 Titik Kota Bandung
Indonesian Audit Watch (IAW) menyebut kasus tersebut sebagai skandal agraria terbesar di wilayah tersebut. Modus yang digunakan meliputi kerja sama operasional fiktif, penghapusbukuan aset secara ilegal, hingga penerbitan sertifikat tanpa dasar hukum.
“Ini bukan lagi soal konflik agraria, tetapi soal perampasan aset negara secara sistematis dengan melibatkan pejabat berwenang,” tegas Iskandar, Sabtu (16/8/ 2025).
Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah memeriksa puluhan pihak, mulai dari pejabat PTPN II, pengembang properti, hingga pejabat Pemerintah Kabupaten Deli Serdang.
Nama Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang, Rahmatsyah Siregar serta Kepala Bidang Penataan Ruang, Damoz Hutagalung turut dipanggil terkait dugaan korupsi penjualan aset PTPN I/II yang menyeret PT Nusa Dua Propertindo (NDP) dan Ciputra Group.
Surat Perintah Penyidikan No. Prin-9/Fd.1/06/2025 yang dikeluarkan Kejagung menguatkan kasus tersebut bukan sekadar sengketa lahan biasa. Ada dugaan sistematis tanah negara diperdagangkan melalui mekanisme Kerja Sama Operasional (KSO) yang cacat hukum.
“HGU itu hak guna, bukan hak jual. Eks-HGU itu tanah negara, bukan aset dagangan. Jika Kejaksaan Agung berani menuntaskan kasus ini, maka keadilan agraria bisa benar-benar lahir di Indonesia dari penanganan kasus korupsi di Sumatera Utara,” tegas Iskandar
Baca Juga: LRT Bandung Dapat Lampu Hijau Pendanaan Rp20 Triliun
Upaya agar tanah eks HGU benar-benar masuk ke program Reforma Agraria sesungguhnya sudah lama diperjuangkan. Komunitas Cinta Tanah Sumatera (CTS) sejak 2011 mengajukan permohonan agar lahan tersebut diberikan kepada petani penggarap.
Pada 2018, setelah terbit Perpres Reforma Agraria, desakan agar eks HGU masuk daftar Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) kian menguat. Namun hingga 2023, meski Presiden Joko Widodo sempat menyerahkan sebagian tanah eks HGU PTPN II, redistribusi kepada masyarakat hampir tidak berjalan.
“Yang kami minta sederhana: tanah negara yang sudah habis HGU jangan dijual, tapi dikembalikan ke rakyat,”tutup tokoh CTS, Muhammad Amin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement