Perbaiki Tata Kelola Stok Beras, Pemerintah Didorong Wujudkan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
Kredit Foto: Antara/Kornelis Kaha
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak 2015 hingga 2024 telah berulang kali mengungkap masalah mendasar yang kini kembali menghantui. Tahun 2017, BPK mencatat kerugian Rp1,2 triliun akibat pembelian beras di atas harga pokok penjualan.
Pada 2018, 35 persen cadangan beras rusak karena penyimpanan buruk. Tahun 2021, biaya gudang membengkak hingga Rp2,8 triliun per tahun. Sementara pada 2023–2024, ditemukan stok fiktif 540 ribu ton dan kerugian Rp3,5 triliun akibat penumpukan beras yang tidak tersalurkan.
“Dengan catatan seperti ini, klaim gudang penuh justru mengingatkan kita pada surplus semu yakni angka besar di kertas, tapi kerugian negara dan penderitaan rakyat di lapangan,” kata Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, Kamis malam (23/8/2025)
Sementara itu, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman menyebutkan stok beras nasional kini menembus 4 juta ton, serapan gabah petani naik 2.000 persen, dan gudang Bulog sudah penuh dinilai sebagai retorika belaka karena berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan.
Iskandar kembali mengingatkan, klaim surplus yang terus digaungkan tidak otomatis berarti rakyat merasakan manfaat.
“Retorika ini terdengar seperti kabar baik. Namun di balik gemuruh klaim tersebut, rakyat justru menghadapi fakta yang berbeda: harga beras tetap mahal, distribusi macet, dan stok lama menumpuk di gudang,” ujar Iskandar
Baca Juga: Zulkifli Hasan: Industri Besar Beras Akan Diatur dengan Izin Khusus
Alarm juga datang dari Kementerian Dalam Negeri. Sekretaris Jenderal Kemendagri, Tomsi Tohir menyoroti adanya keanehan dalam pola harga beras. Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), yang biasanya menekan harga dalam dua minggu, kali ini gagal total.
Realisasi distribusi SPHP baru mencapai 2,94 persen dari target 1,3 juta ton. Penyaluran harian hanya sekitar 1.000 ton, jauh dari target 7.100 ton. Akibatnya, harga beras tetap tinggi, di kisaran Rp12.000 hingga Rp18.000 per kilogram, jauh di atas harga eceran tertinggi.
Kemendagri bahkan mengindikasikan adanya praktik spekulasi, penimbunan, dan manipulasi data stok. Fenomena tersebut digambarkan sebagai ulah “vampir pangan” yang menghisap rakyat di tengah klaim surplus pemerintah.
Sementara itu, DPR juga tidak tinggal diam. Komisi IV melalui ketuanya, Titiek Soeharto, menegur Bulog agar tidak menimbun stok lama lebih dari setahun. Prinsip “first in, first out” dianggap diabaikan, sehingga risiko beras rusak, berkutu, bahkan busuk menjadi sangat tinggi.
DPR menegaskan rotasi stok adalah harga mati. Jika stok tua tidak segera dikeluarkan, kualitas beras akan merosot, kepercayaan publik runtuh, dan APBN kembali menanggung kerugian miliaran rupiah akibat pemborosan penyimpanan.
Kondisi tersebut memperlihatkan perbedaan tajam antara Kementan dengan Kemendagri dan DPR. Di satu sisi, Kementan sibuk promosi narasi surplus, panen raya, dan keberhasilan. Di sisi lain, Kemendagri dan DPR menyoroti realitas harga, distribusi, dan kualitas stok.
“Hasilnya jelas, yaitu klaim surplus gagal menjawab logika pasar. Harga tetap tinggi, distribusi SPHP macet, stok lama tidak diputar. Kementan terjebak pada retorika, sementara Kemendagri dan DPR bicara fakta,” tegas Iskandar.
Menurut analisis IAW, surplus beras bukan sekadar angka yang diumumkan di podium. Surplus sejati hanya ada jika harga stabil di pasar, stok sehat di gudang, dan distribusi lancar hingga ke pelosok.
“Jika harga naik, stok tua menumpuk, dan audit BPK menunjukkan kerugian, maka surplus itu hanyalah ilusi gudang. Publik butuh bukti, bukan bombastis,” ujarnya.
Baca Juga: Mendagri Tito Karnavian: Beras SPHP Jadi Solusi Terjangkau di Tengah Lonjakan Harga
Untuk memperbaiki situasi, IAW mendesak adanya audit fisik terhadap stok Bulog secara independen, termasuk dari segi jumlah, mutu, usia, dan asal usul beras. Selain itu, prinsip rotasi stok harus diterapkan secara ketat agar tidak ada beras berumur lebih dari 12 bulan di gudang.
Transparansi juga menjadi tuntutan utama. IAW mendorong adanya dashboard publik yang menampilkan data real-time mengenai stok per gudang, harga gabah, dan realisasi distribusi SPHP. Distribusi harian SPHP pun perlu dikejar sesuai target, dan penegakan hukum terhadap mafia pangan serta spekulan harus segera dilakukan.
Iskandar menilai Kementan seharusnya lebih dulu menuntaskan temuan BPK, mengeluarkan stok lama Bulog, dan mempercepat distribusi SPHP sebelum mengumbar klaim besar soal stok 4 juta ton. Tanpa langkah nyata, surplus hanya menjadi jargon politik.
“Surplus tanpa transparansi adalah surplus kata-kata. Surplus sejati baru ada jika rakyat merasakannya di meja makan mereka,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement