Umur Kapal Bukan Ukuran Kelayakan dalam Bisnis Pelayaran, Saksi PT BKI Beri Penjelasan di Sidang ASDP
Kredit Foto: ASDP Indonesia Ferry
Dalam persidangan perkara akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (ASDP), seorang saksi ahli dari PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) atau BKI memberikan penjelasan tegas. Ardhian Budi, saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum, menyatakan bahwa dalam bisnis pelayaran di dunia atau di Indonesia tidak ada aturan yang membatasi usia kapal.
“Umur kapal bukanlah ukuran dalam bisnis pelayaran. Ukurannya adalah apakah kapal layak jalan atau tidak,” ujar Ardhian dalam sidang yang memeriksa tiga mantan direktur ASDP yang dituduh merugikan negara senilai Rp 1,27 triliun.
Ardhian menambahkan, meskipun usianya kapal tua, “tapi kalau punya sertifikat laik layar, maka kapal itu punya nilai ekonomis,” katanya lagi.
Pernyataan ini menjadi sanggahan atas dakwaan jaksa yang menyebut bahwa mayoritas kapal PT JN sudah berumur tua dan bahkan beberapa tidak layak beroperasi, seperti dua kapal yang diuji oleh BKI: satu bersertifikat tidak berlaku, dan satu kapal ditemukan karam.
Hal itu yang diluruskan Ardhian, umur kapal bukanlah ukuran dalam bisnis pelayaran. Dia juga menunjukkan data kapal-kapal di Indonesia paling banyak umurnya di atas 20 tahun. “Ada kapal yang usianya 50 tahun dan masih laik jalan,” kata Ardhian.
“Kapal yang rusak (atau kandas) bukanlah kapal rongsok karena kalau dimaintain dan diperbaiki bisa berlayar lagi,” kata Ardhian yang mewakili BKI. BKI adalah lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan survei dan sertifikasi untuk memastikan kapal layak laut, aman, dan tidak mencemari lingkungan.
Soal kapal PT JN yang dituduhkan jaksa ada kapal yang karam, pembela terdakwa Soesilo Ariwibowo membantahnya. “Kapal itu tidak karam tapi kandas. Karam itu artinya tenggelam dalam air. Kalau kandas itu terdampar pada dan setelah diperbaiki kapal Musi itu sudah beroperasi kembali,” kata Soesilo.
Sidang lanjutan pada Kamis, 28 Agustus 2025 itu juga menghadirkan dua saksi lain, yaitu Muhammad Ridhwan dari konsultan SMI, serta Heribertus Eri dari KJPP SSR.
Heribertus Eri, dari Kantor Jasa Penilai Perusahaan (KJPP) SSR sampai ditanya oleh jaksa penuntut umum soal dia kaget melihat valuasi aset PT Jembatan Nusantara (JN) oleh badan penilai publik KJPP MBPRU.
“Saya kaget. Ternyata penilaian aset-aset PT JN begitu detail oleh MBPRU. Mereka sampai tanya ke petugas loket penjualan tiket,” kata Eri.
Eri menambahkan, KJPP MBPRU melakukan penilaian aset dengan dua metode. “Mereka pakai metode penjualan dan pendapatan.”
Seperti diberitakan sebelumnya, KJPP MBPRU menilai 53 kapal PT JN senilai Rp 2,09 triliun. Nilai ini kemudian dicek ulang oleh KJPP SRR yang menilai aset 42 kapal PT JN adalah Rp 986 miliar dan 11 kapal lainnya senilai Rp 380 miliar atau total Rp 1,343 miliar. Pada akhirnya, ASDP mengakuisisi PT JN—termasuk kapal, trayek, izin rute, SDM, dan seluruh saham—dengan harga Rp 1,27 triliun, atau lebih murah 40% dari penilaian awal MBPRU yang hanya untuk kapal.
Eri juga menjawab pertanyaan jaksa soal tudingan bahwa harga negosiasi antara ASDP dan JN ditetapkan lebih dulu pada 8 Oktober 2020, sebelum laporan final KJPP SRR yang selesai akhir Oktober.
“Saat negosiasi PT ASDP dengan JN itu mereka menggunakan patokan dari laporan survei-survei kami sebelumnya, (yakni laporan 30 September) meski belum ada laporan akhir tapi angka-angka yang ditetapkan di laporan awal dan akhir itu sama,” kata Eri lagi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement