Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Reshuffle Menyembuhkan Ekonomi

Reshuffle Menyembuhkan Ekonomi Kredit Foto: Youtube
Warta Ekonomi, Jakarta -

Universitas Paramadina menggelar diskusi panel bertajuk “Reshuffle Menyembuhkan Ekonomi?” pada 10 September 2025. Acara ini menghadirkan sejumlah pakar ekonomi dan media, antara lain Wijayanto Samirin (Ekonom Universitas Paramadina), Eisha Maghfiruha Rachbini (Direktur Program INDEF), serta Eko B. Supriyanto (Pemimpin Redaksi InfoBank). Diskusi dipandu oleh Alia R. dengan pengantar dari Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini.

Menurut pemaparan Eisha Maghfiruha Rachbini, Indonesia telah mengalami tiga krisis besar sejak 1997. Setelah krisis global 2007–2008, perekonomian cukup tangguh dengan pertumbuhan rata-rata 5,4 persen per tahun. Namun pandemi Covid-19 menjadi tantangan terberat, dan hingga kini pemulihan penuh masih belum tercapai meski pertumbuhan ekonomi telah kembali di atas 5 persen.

Kondisi tenaga kerja menunjukkan dinamika yang mengkhawatirkan. Pertumbuhan upah riil stagnan, sementara peralihan struktur ekonomi dari manufaktur ke jasa berlangsung terlalu dini. Hal ini menyebabkan banyak tenaga kerja terserap ke sektor informal. Pada Februari 2025, pekerja informal mencapai 59,4 persen atau sekitar 86,58 juta orang, naik dari 56,6 persen pada 2020.

Baca Juga: Reshuffle Menteri Keuangan: Fokus Pemulihan Ekonomi Jangka Pendek

Kelas menengah juga mengalami penurunan hingga 10 juta orang, sementara kelompok menuju kelas menengah meningkat. Tren ini berimplikasi pada melemahnya daya beli masyarakat.

Eisha menyoroti APBN 2026 yang membutuhkan alokasi besar untuk program prioritas, sehingga mempersempit ruang fiskal. Pemerintah menargetkan peningkatan penerimaan pajak, namun realisasi terlihat sulit dicapai karena outlook 2025 menunjukkan penurunan penerimaan negara dibanding APBN awal. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah berat bagi Menteri Keuangan yang baru, terutama dalam menyeimbangkan kualitas belanja negara, rasio pajak, dan beban utang.

Sementara itu, Wijayanto Samirin menekankan bahwa reshuffle kabinet tidak serta-merta berdampak langsung pada ekonomi. Menteri Keuangan, meski memiliki posisi penting, hanya berperan sebagai pengumpul pajak dan pengendali belanja. Jika sektor riil tidak kuat, kebijakan fiskal pun terbatas hasilnya.

Ia menyoroti deindustrialisasi dini yang terjadi di Indonesia. Pada 2010 sektor manufaktur masih menyumbang 22 persen PDB, namun kini hanya 18,6 persen, termasuk CPO yang sebenarnya produk pertanian mentah. Tantangan terbesar tetap terletak pada aspek fiskal, terutama dengan rasio pajak yang turun hingga 9,6 persen, di bawah ambang ideal.

Di sisi pengeluaran, APBN dibebani program-program besar dan pembayaran bunga utang yang melonjak, bahkan diperkirakan mencapai 19–29 persen dari total belanja, jauh di atas batas aman 10 persen. Debt service ratio telah mencapai 42 persen dari pendapatan negara, padahal standar sehatnya hanya 25 persen. Jika memperhitungkan berbagai kewajiban tersembunyi, seperti subsidi utang, transfer daerah tertunda, hingga dana pensiun ASN, rasio utang terhadap PDB bisa menembus 63 persen.

Wijayanto menilai pergantian Menteri Keuangan terjadi terlalu dini, seharusnya dilakukan setelah 2026 ketika masa kritis fiskal terlewati. Pasar membutuhkan figur yang sudah dikenal untuk menjaga stabilitas saat pemerintah harus melakukan refinancing utang sekitar Rp1.400 triliun per tahun. 

Ia juga memberi empat saran untuk Menteri baru: menjaga pernyataan publik agar tidak menimbulkan gejolak, menerapkan disiplin fiskal melalui refocusing APBN 2026, memperbaiki manajemen utang, serta mendorong konversi ekonomi bawah tanah—yang kini mencapai 23,6 persen PDB—menjadi ekonomi formal untuk memperluas basis pajak.



Eko B. Supriyanto menilai reshuffle tidak otomatis memperbaiki ekonomi. Posisi Menteri Keuangan memang strategis, tetapi ruang geraknya terbatas dalam birokrasi yang kompleks. Menurutnya, persoalan utama bukan kekurangan uang, melainkan maraknya kriminalitas keuangan dan korupsi.

Ia menekankan bahwa ekonomi tidak hanya soal hitungan matematis, tetapi juga moral dan etika. Karena itu, kebijakan yang diambil Menteri Keuangan baru harus berlandaskan keadilan dan integritas. Salah satu tantangan besar adalah membenahi ketidakadilan ekonomi yang sering memicu keresahan masyarakat.

Baca Juga: Alasan Sri Mulyani di-Reshuffle karena Burn Out, Sudah Jenuh dan Akibatnya Inovasi sebagai Menkeu Menurun

Eko juga mengingatkan bahaya ketergantungan pada utang. Modern Monetary Theory dan kebijakan burden sharing Bank Indonesia diharapkan dapat memperkuat likuiditas dan mendorong pertumbuhan, namun harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menjebak ekonomi dalam candu utang.

Prof. Didik J. Rachbini menegaskan bahwa intelektual tidak boleh diam menghadapi persoalan bangsa. Universitas Paramadina mengambil peran sebagai penyeimbang dengan mengkritisi kondisi APBN yang dinilai semakin berantakan. 

Ia menilai faktor pendorong utama pertumbuhan bukan sekadar kebijakan Kementerian Keuangan, melainkan juga kekuatan industri riil. Tanpa perbaikan fundamental industri, APBN tidak akan mampu mendorong ekonomi tumbuh hingga 7 persen sebagaimana diharapkan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: