Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

ARE: Bank Indonesia Masih Lambat Hentikan Pembiayaan Batu Bara

ARE: Bank Indonesia Masih Lambat Hentikan Pembiayaan Batu Bara Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bank-bank di kawasan ASEAN menunjukkan kemajuan berarti dalam tata kelola dan aksi iklim, dengan 11 dari 14 bank telah menetapkan target jangka panjang net zero untuk emisi yang dibiayai. Salah satunya adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Namun, laporan terbaru mengungkapkan bahwa perbankan di kawasan ini masih tertinggal dalam menerapkan kebijakan ambisius yang dibutuhkan agar benar-benar sejalan dengan target net zero global pada 2050.

Laporan berjudul “Bridging the Gap: Have ASEAN Banks Caught Up on Climate Action?” yang dirilis Asia Research & Engagement (ARE) menilai 14 bank terkemuka di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Founder dan Managing Director ARE, Ben McCarron mengatakan, meski lembaga keuangan Indonesia seperti BRI, Bank Mandiri, BNI, dan BCA telah meningkatkan transparansi risiko iklim dan memperkuat kerangka tata kelola, kebijakan dekarbonisasi serta pembatasan terhadap pembiayaan bahan bakar fosil dinilai masih tertinggal dibandingkan standar regional.

Baca Juga: Komitmen pada Keberlanjutan, Pembiayaan Hijau Bank Mandiri Meningkat

“Bank-bank ASEAN mencatatkan kemajuan signifikan—dari tata kelola yang lebih kuat hingga komitmen net zero dan pembatasan terhadap pembiayaan batu bara—namun masih banyak yang perlu dilakukan. Kami mendorong bank-bank di kawasan untuk secara kolektif mempercepat transisi menuju ASEAN rendah karbon,” kata Ben McCarron dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (9/10/2025).

Ben mengatakan Indonesia memperoleh skor 50% untuk tata kelola, 83% untuk manajemen risiko, 75% untuk peluang pembiayaan hijau, dan hanya 17% untuk kebijakan, dengan rata-rata keseluruhan 53% dalam tolok ukur 2025. Angka ini mencerminkan sistem perbankan yang semakin canggih dalam mengelola risiko iklim, namun masih lemah dalam penerapan kebijakan dekarbonisasi yang kuat dan berbatas waktu.

Sebagian besar bank besar di Indonesia telah memiliki pengawasan keberlanjutan di tingkat dewan, mengadopsi prinsip Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD), serta mulai melaporkan emisi pembiayaan dengan metodologi Partnership for Carbon Accounting Financials (PCAF).

Meski begitu, hanya BRI yang telah menetapkan target net zero emission pada 2050—satu dekade lebih awal dari target nasional 2060—dan mulai mengurangi secara bertahap pembiayaan eksisting untuk PLTU. Hingga kini, belum ada satu pun bank di Indonesia yang memiliki rencana penghentian pembiayaan PLTU baru.

Baca Juga: Omzet Rp5,4 Miliar Setahun, Warga Binaan Nusakambangan Ubah Limbah PLTU Jadi Produk Bernilai Tinggi

Sebaliknya, sejumlah bank di kawasan sudah mengambil langkah lebih progresif. Di Thailand, KBank dan Siam Commercial Bank (SCB) menerapkan kebijakan no new coal, bahkan KBank berencana menghentikan seluruh pembiayaan batu bara pada 2030.

Di Malaysia, Maybank dan CIMB menargetkan penghentian total pembiayaan PLTU pada 2040, sementara Hong Leong Bank (HLB) menolak semua pendanaan baru untuk proyek listrik batu bara sejak 2023. Di Filipina, BDO Unibank dan Bank of the Philippine Islands (BPI) juga telah mengadopsi kebijakan serupa.

Laporan ARE memperingatkan, tanpa kebijakan yang lebih tegas dengan tenggat waktu yang jelas, bank-bank Indonesia berisiko tertinggal dari bank lain di ASEAN.

“Bank-bank Indonesia telah membuktikan kemampuannya dalam tata kelola dan pengungkapan risiko iklim. Tantangan selanjutnya adalah kepemimpinan dalam dekarbonisasi—menghentikan pembiayaan batu bara, memperkuat pembiayaan transisi energi, dan menyesuaikan dengan target net zero emission 2050,” tulis laporan tersebut.

Baca Juga: Ambisi Energi Terbarukan Dikecilkan, Batubara Tetap Jadi Raja di PP KEN 2025

ARE juga menekankan pentingnya bagi bank untuk mengadopsi jalur dekarbonisasi sektoral di seluruh industri berkarbon tinggi. Jalur ini perlu disepakati bersama klien di seluruh bentuk penyediaan modal, baik di tingkat korporat, proyek, maupun pembiayaan pihak ketiga.

Laporan tersebut menegaskan bahwa bank yang berani mengambil posisi sebagai pemimpin aksi iklim akan memperoleh manfaat jangka panjang—mulai dari peluang bisnis baru di sektor hijau, risiko portofolio yang lebih rendah, hingga kepercayaan reputasi dan kesiapan menghadapi regulasi masa depan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo

Advertisement

Bagikan Artikel: