AZEC Dinilai Solusi Palsu, Masyarakat Sipil Desak Jepang Hentikan Greenwashing
Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Jaringan organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyatakan penolakan terhadap inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) yang dinilai justru memperpanjang ketergantungan pada energi fosil. Penolakan ini disampaikan menanggapi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) AZEC yang digelar di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 28 Oktober 2025.
Mereka menilai inisiatif yang dipimpin Jepang melalui strategi Green Transformation (GX) tersebut bukan solusi transisi energi, melainkan ancaman bagi lingkungan, keselamatan komunitas, dan potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Koalisi juga mendesak pemerintah Jepang dan Indonesia agar berkomitmen pada transisi energi yang cepat, adil, dan merata dengan melibatkan masyarakat lokal secara bermakna.
Sejak awal, jaringan organisasi masyarakat sipil telah menyuarakan keprihatinan terhadap arah AZEC. Pada 20 Agustus 2024, bertepatan dengan Pertemuan Tingkat Menteri AZEC ke-2 di Jakarta, sebanyak 41 organisasi masyarakat sipil menyerahkan petisi yang menolak inisiatif tersebut.
Baca Juga: Limbah Radioaktif Ditemukan di Cikande, WALHI Desak Pemerintah Revisi Aturan B3
Mereka menilai pelaksanaan AZEC melanggar prinsip demokrasi karena minim transparansi, tidak melibatkan masyarakat, serta mendorong teknologi yang memperpanjang usia energi fosil. Selain tidak menyelesaikan krisis iklim, AZEC juga dinilai memperburuk penderitaan masyarakat terdampak dan berpotensi memicu perampasan lahan, deforestasi, hingga jebakan utang (debt distress) yang membebani negara dan generasi mendatang.
Manajer Kampanye Isu Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI, Dwi Sawung, menilai AZEC merupakan bentuk baru kolonialisme energi yang mengabaikan hak-hak masyarakat.
“Kami menolak AZEC karena ia menyamarkan kepentingan korporasi dan negara industri sebagai upaya dekarbonisasi, padahal yang terjadi adalah greenwashing yang sistemik. Transisi energi harus berangkat dari kebutuhan dan hak masyarakat, bukan dari skema investasi yang mengekalkan ketimpangan dan kerusakan ekologis,” terang Sawung.
Senada, Riski Saputra, Peneliti Lingkungan AEER, menyebut AZEC gagal menunjukkan komitmen terhadap energi bersih.
“Jika AZEC serius dalam mendukung agenda transisi energi di Indonesia, seharusnya pengembangan proyek diarahkan untuk smart grid dan sumber energi bersih seperti surya dan angin. AZEC juga seharusnya mendukung pensiun dini PLTU, bukan malah memperpanjangnya dengan solusi palsu seperti co-firing dan CCS/CCUS yang justru memperburuk keadaan,” jelas Riski.
Baca Juga: Persoalan Polusi Udara Kian Kompleks, PLTU Kerap Jadi Kambing Hitam
Kritik serupa disampaikan Al Farhat Kasman, Juru Kampanye JATAM, yang menilai AZEC sebagai wajah baru kolonialisme ekstraktif.
“AZEC tidak hadir sebagai solusi atas krisis yang sedang terjadi, dia hadir justru sebagai wajah baru dari kolonialisme ekstraktif,” tegas Farhat.
Menurutnya, investasi rendah karbon dalam AZEC menyembunyikan konsekuensi sosial dan ekologis.
“Menanamkan investasi atas nama rendah karbon yang di dalamnya tersembunyi jebakan utang, kerusakan lingkungan akibat ekstraksi sumber daya seperti geothermal dan mineral kritis, memperpanjang utang sosial-ekologis warga di wilayah terdampak. Kesepakatan di bawah AZEC menunjukkan negara lebih berpihak pada pemodal,” ujarnya.
Wishnu Utomo, Direktur Advokasi Tambang CELIOS, menilai pendekatan AZEC dalam mitigasi krisis iklim keliru.
Baca Juga: Perempuan dan Anak Paling Rentan Dampak Negatif Perubahan Iklim
“AZEC menggunakan pendekatan yang salah dalam memitigasi krisis iklim. Banyak proyek solusi palsu yang berbahaya bagi lingkungan hidup dan sosial yang mereka danai,” tegas Wishnu.
Ia menambahkan bahwa transisi energi seharusnya menjadi momentum pemulihan masyarakat, bukan memperluas dampak eksploitasi.
Sementara itu, Yuyun Harmono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengungkapkan portofolio AZEC justru lebih banyak mendukung energi fosil. Berdasarkan laporan Zero Carbon Analytics tahun 2024, hanya 11% dari 158 nota kesepahaman (MoU) di bawah AZEC yang terkait energi angin dan surya, sementara 56 MoU (35%) melibatkan teknologi bahan bakar fosil seperti LNG, co-firing amonia, dan CCS.
“Dukungan AZEC terhadap solusi palsu seperti co-firing PLTU, CCS/CCUS, dan gas fosil hanya akan memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil dan menjauhkan dari dekarbonisasi,” ungkap Yuyun.
Baca Juga: Di Forum Lingkungan, Bahlil Sebut Batubara Tidak Kotor, Kok Bisa?
Kritik juga datang dari Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia, yang menilai pendekatan Jepang lewat AZEC justru menghambat upaya global menghadapi krisis iklim.
“Lagi-lagi Jepang berupaya menggagalkan komitmen iklim dunia. Melalui AZEC, Jepang masih saja menggelontorkan pembiayaan solusi palsu ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia,” ujar Novita.
Ia menegaskan Jepang seharusnya memperkuat dukungan pada energi terbarukan, bukan justru membiayai proyek yang memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil.
Sementara itu, M. Abdul Baits dari Divisi Kajian dan GIS WALHI Jakarta menyoroti proyek AZEC yang mendorong skema co-firing pada pembangkit berbasis fosil di Suralaya, Lontar, dan Muara Karang.
“Proyek AZEC yang digagas Jepang bukanlah solusi terhadap krisis iklim, melainkan kamuflase untuk memperpanjang umur batu bara dan gas,” tegasnya.
Baca Juga: Petrindo Akuisisi GDI, Siap Bangun PLTU 680 MW Senilai US$600 Juta di Halmahera
Menurut Baits, langkah ini akan mempertahankan polusi udara di Jakarta dan memperburuk kualitas hidup warganya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Advertisement