Kinerja Meningkat, Laporan Keuangan Pegadaian Picu Tanda Tanya Besar
Kredit Foto: Istimewa
PT Pegadaian (Persero) mencatatkan lonjakan laba bersih 23% year on year (yoy) menjadi Rp3,58 triliun per 30 Juni 2025. Namun, di balik angka tersebut, laporan keuangan perusahaan pelat merah ini memunculkan sederet kejanggalan yang menimbulkan tanda tanya besar mengenai efisiensi dan tata kelola korporasi.
Dalam laporan keuangan semester I 2025, beban operasional Pegadaian mencapai Rp35,1 triliun, hampir tiga kali lipat dibanding Rp12,3 triliun pada 2024. Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Galau D. Muhammad menilai peningkatan sebesar itu tidak sejalan dengan prinsip efisiensi yang tengah digalakkan BUMN lain.
“Kenaikan beban pegawai hingga 31,8% harus diukur seiring dengan produktivitas. Jangan sampai kenaikan beban hanya habis untuk rutinitas operasional tanpa ada peningkatan kualitas SDM,” kata Galau kepada Warta Ekonomi, Senin (10/11/2025).
Selain itu, lonjakan juga terjadi pada beban pegawai dari Rp2,32 triliun menjadi Rp3,06 triliun, dengan komponen tunjangan melonjak 36% dan dana pensiun naik dua kali lipat. Ironisnya, biaya pelatihan justru turun 35,8%.
Baca Juga: Pegadaian (PPGD) Terbitkan Obligasi dan Sukuk Triliunan, Telisik Detailnya
“Ini berpotensi menunjukkan distorsi pengelolaan biaya yang tidak mendukung peningkatan produktivitas,” ujarnya.
Utang Deposito Emas Picu Pertanyaan
Pos baru berupa utang deposito emas senilai Rp2,2 triliun juga menjadi sorotan. Item ini sebelumnya tidak tercatat dalam laporan 2023 dan 2024. Menurut Galau, kemunculan pos tersebut mengindikasikan perubahan model bisnis yang berisiko tinggi.
“Pegadaian sejatinya lembaga pembiayaan mikro, bukan pedagang komoditas. Ketika muncul utang deposito emas, ini bisa meningkatkan eksposur risiko pasar karena sangat bergantung pada fluktuasi harga emas,” jelasnya.
Lonjakan pendapatan dari penjualan emas juga mencolok. Nilainya naik empat kali lipat menjadi Rp27,25 triliun dari Rp6,34 triliun pada tahun sebelumnya. Namun, di balik pendapatan tinggi itu, terdapat beban harga pokok penjualan (HPP) emas yang juga melonjak ke Rp26,39 triliun. Artinya, margin bisnis emas kemungkinan amat tipis dan berpotensi menekan arus kas.
Baca Juga: Dari Bekasi hingga Pamekasan, Pegadaian Dihantam Skandal Beruntun Sepanjang 2025
Arus kas operasi tercatat defisit Rp10,6 triliun, lebih dalam dibandingkan defisit Rp6,88 triliun pada 2024. “Defisit kas yang meningkat bersamaan dengan lonjakan beban adalah sinyal likuiditas yang tidak sehat,” tegas Galau.
Total liabilitas Pegadaian naik 39% menjadi Rp84,44 triliun, seiring peningkatan pinjaman bank dari Rp20,17 triliun menjadi Rp35,13 triliun, serta penerbitan surat berharga yang hampir dua kali lipat menjadi Rp13,17 triliun. Kenaikan tersebut, menurut Galau, lebih menggambarkan upaya menutup kesenjangan kas ketimbang ekspansi sehat.
“Peningkatan pinjaman di tengah defisit arus kas memperkuat dugaan bahwa pembiayaan dilakukan untuk menutupi kebutuhan likuiditas, bukan untuk mendukung core business,” ujarnya.
Ia menambahkan, komposisi aset yang didominasi piutang dan emas dengan kas hanya Rp519 miliar menunjukkan struktur aset yang kurang likuid. Kondisi ini membuat Pegadaian rawan tekanan arus kas bila terjadi gejolak pasar.
Dorongan Audit Ulang dan Risiko Reputasi
Galau menilai perubahan agresif dalam struktur biaya dan liabilitas harus direspons serius oleh auditor dan dewan komisaris.
Baca Juga: Masih Banyak Pegadaian Ilegal, OJK Luncurkan Road Map
“Auditor wajib memverifikasi secara rinci setiap perubahan signifikan, terutama di sektor komoditas emas dan beban pegawai. Dewan komisaris harus meminta klarifikasi ke manajemen,” katanya.
Ia juga mendesak Kementerian BUMN dan OJK melakukan audit ulang dan investigasi khusus atas laporan keuangan Pegadaian.
“Temuan seperti utang deposito emas dan lonjakan beban harus diaudit ulang agar publik yakin tidak ada salah pencatatan atau manipulasi,” tegasnya.
Galau memperingatkan, bila terbukti ada penyimpangan, risiko reputasi Pegadaian dan holding BUMN akan besar. “Pegadaian membawa mandat sosial. Sekecil apa pun penyimpangan akan menggerus kepercayaan publik dan mencoreng citra BUMN keuangan nonbank,” ucapnya.
Dari sisi makro, Galau menilai tekanan likuiditas Pegadaian dapat menghambat penyaluran pembiayaan mikro ke sektor produktif, terutama UMKM. “Defisit kas bisa membatasi kemampuan Pegadaian menyalurkan kredit produktif ke ekonomi lapisan bawah,” jelasnya.
Sementara di pasar emas domestik, strategi agresif Pegadaian berpotensi meningkatkan volatilitas harga. “Instabilitas pada bisnis inti Pegadaian dapat menyebar menjadi risiko sistemik di pasar emas nasional,” tambahnya.
Baca Juga: Daftar Lengkap Harga Emas di Pegadaian pada 10 November 2025, Antam Sudah Ada?
Galau menegaskan, transparansi adalah langkah paling mendesak.
“Pemerintah harus membuka akses audit independen dan memperketat pelaporan keuangan setiap holding. Pegadaian tidak boleh kehilangan fungsinya sebagai instrumen sosial ekonomi yang prudent,” pungkasnya.
Kinerja Keuangan
PT Pegadaian (Persero) mencatat kenaikan laba bersih sebesar 23% yoy menjadi Rp3,58 triliun per 30 Juni 2025. Namun, laporan keuangan perusahaan menunjukkan sejumlah kejanggalan, termasuk lonjakan beban operasional dari Rp12,3 triliun pada 2024 menjadi Rp35,1 triliun pada Juni 2025, serta munculnya utang deposito emas sebesar Rp2,2 triliun yang sebelumnya nihil pada 2023 dan 2024.
Pendapatan usaha Pegadaian tercatat Rp39,87 triliun, naik 148% dari Rp16,08 triliun pada 2024. Lonjakan terutama berasal dari penjualan emas yang naik dari Rp6,34 triliun menjadi Rp27,25 triliun. Pendapatan sewa modal dan administrasi meningkat 28,4% menjadi Rp12,26 triliun, sedangkan pendapatan usaha lainnya mencapai Rp367,06 miliar.
Di sisi beban usaha, harga pokok penjualan emas melonjak menjadi Rp26,39 triliun, disusul beban pegawai yang naik menjadi Rp3,06 triliun dan beban bunga serta bagi hasil Rp2,10 triliun. Laba usaha tercatat Rp4,70 triliun, tumbuh 24,7%, dan laba sebelum pajak Rp4,76 triliun.
Baca Juga: OJK Waspadai Pegadaian Jadi Sarang Pencucian Uang dan Barang Ilegal
Neraca menunjukkan total aset Rp121,06 triliun, naik 18% dari Rp102,62 triliun pada akhir 2024. Lonjakan ini sebagian besar berasal dari portofolio pembiayaan yang meningkat menjadi Rp97,06 triliun.
Sementara itu, total liabilitas naik 39% menjadi Rp84,44 triliun, terutama karena pinjaman bank pihak ketiga yang naik dari Rp20,17 triliun menjadi Rp35,13 triliun dan penerbitan surat berharga yang hampir dua kali lipat menjadi Rp13,17 triliun.
Kenaikan beban pegawai tak pelak juga menjadi sorotan. Beban pegawai naik 31,8% dari Rp2,32 triliun menjadi Rp3,06 triliun, didorong tunjangan karyawan yang meningkat 36% menjadi Rp2,17 triliun dan kontribusi dana pensiun yang melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi Rp368,56 miliar. Sebaliknya, gaji pokok dan imbalan direksi menurun, sedangkan biaya pelatihan turun 35,8%.
Arus kas dari aktivitas operasi tercatat defisit Rp10,60 triliun, meningkat dari defisit Rp6,88 triliun tahun sebelumnya. Meski begitu, kas dan setara kas akhir periode tercatat Rp519,81 miliar, naik 30,2% secara yoy.
Respon Perusahaan
Direktur Keuangan dan Perencaan Strategis PT Pegadaian, Ferdian Timur Satyagraha, mengatakan lonjakan beban pegawai terjadi seiring dengan pertumbuhan bisnis terutama dala mendukung ekosistem emas Pegadaian.
Baca Juga: Harga Emas UBS dan Galeri 24 di Pegadaian Kompak Turun, Antam Masih Kosong
Dia menjelaskan kenaikan beban usaha terbesar terjadi karena melonjaknya penjualan emas dari Rp 6 triliun menjadi Rp 26,3 triliun dan naiknya pendapatan penjualan emas dari Rp 6,3 triliun menjadi Rp 27,25 triliun.
"Pertumbuhan bisnis perlu support termasuk pemenuhan formatur pegawai terutama penaksiran mensupport ekosistem emas pegadaian sehingga lebih mendukung pertumbuhan bisnis," ujar Ferdian.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Djati Waluyo
Advertisement