Kredit Foto: Istimewa
Indonesia telah berinvestasi besar dalam teknologi pengawasan digital dengan harapan bisa meningkatkan keamanan nasional sekaligus menjaga stabilitas sosial.
Berbagai perangkat mutakhir, mulai dari spyware, lawful intercept, hingga digital command system, digadang-gadang mampu menjadi “perisai” modern untuk mencegah potensi konflik di masyarakat. Namun, pengalaman terbaru menunjukkan bahwa teknologi canggih saja tidak cukup tanpa tata kelola, transparansi, dan kesiapan sumber daya manusia.
Puluhan triliun rupiah telah digelontorkan negara untuk membangun sistem intelijen digital kelas premium. Ironisnya, saat demonstrasi besar akhir Agustus 2025 berujung ricuh, piranti tersebut tampak belum berfungsi maksimal dalam meredam eskalasi maupun menyelamatkan warga. Enam hingga delapan orang meninggal dunia, ribuan ditangkap, dan beberapa gedung dibakar massa. Infrastruktur umum pun tak luput dari kerusakan, mulai halte TransJakarta hingga fasilitas MRT.
Baca Juga: IAW Dorong Pemerintah Perkuat Perlindungan Kawasan Konservasi dan Hak Masyarakat Adat
Berbanding terbalik dengan situasi reformasi 1998, ketika aparat menghadapi krisis sosial tanpa bantuan teknologi mutakhir. Kala itu, informasi didapat hanya dari metode konvensional: intelijen lapangan, informan, dan observasi fisik. Hasilnya tragis, lebih dari seribu nyawa melayang dan kerugian mencapai triliunan rupiah.
“Saat itu sekelompok orang menggunakan isu etnis sebagai kambing hitam untuk mengalihkan perhatian dari krisis ekonomi. Tanpa alat deteksi dini, narasi isu itu menyebar cepat dan memicu kekerasan massal,” ujar Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, Selasa, (2/9/2025).
Masalahnya, bukan sekadar soal ketersediaan teknologi, melainkan bagaimana alat-alat itu dibeli dan digunakan. Sejak 2017, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pola pengadaan yang tidak efisien dan tak transparan: penggunaan istilah samar seperti “sistem khusus,” proyek tanpa tender terbuka, hingga ketidakjelasan hasil.
Beberapa contoh mencolok termasuk belanja spyware senilai Rp149 miliar pada 2018, serta anggaran Kejaksaan Agung sebesar Rp5,78 triliun pada 2024–2025 yang dipenuhi proses tender formalitas. Bahkan, catatan ketidakpatuhan dalam pengadaan mencapai Rp30,87 triliun pada 2017.
“Di saat negara kita sudah punya gawai kelas premium yakni spyware, lawful intercept, dan sistem intelijen digital, ironinya, saat massa pengunjuk rasa turun ke jalan, alat mahal itu justru tidak bisa hadir sebagai penjaga nyawa rakyat dari perilaku jahat provokator. Alat-alat itu nyaris tak terlihat fungsinya!” tegas Iskandar.
Iskandar menyebut akar masalahnya terletak pada lemahnya tata kelola: banyak perangkat dibeli tanpa spesifikasi jelas, vendor dipilih tanpa kompetisi sehat, dan alat-alat tersebut tidak kompatibel atau tidak pernah digunakan sesuai peruntukannya. Banyak yang bahkan hanya disimpan sebagai simbol belaka.
Kondisi makin parah karena operator kerap tidak dibekali pelatihan memadai. Selain itu, banyak pejabat yang tidak memahami bagaimana sistem pengawasan digital seharusnya bekerja. Tanpa doktrin operasi, integrasi SOP, uji fungsi berkala, dan simulasi gabungan, perangkat berteknologi tinggi tidak akan pernah efektif.
Audit oleh negara pun disebut belum menyentuh aspek substansi. BPK cenderung hanya memeriksa dokumen administratif tanpa mengevaluasi sistem di lapangan atau kualitas server yang dibeli. Di sisi lain, klaim “rahasia negara” sering digunakan untuk menutup celah pengawasan publik.
“Kata 'Rahasia' pun berubah menjadi lubang hitam yang menelan uang negara, menelan kepercayaan, dan pada akhirnya menelan kesempatan menyelamatkan nyawa rakyat!" tegasnya.
IAW mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk memperbaiki sistem pengadaan alat intelijen secara menyeluruh. Lembaga ini menyebut sejumlah regulasi perlu diperkuat, termasuk UU BPK (15/2006), Perpres PBJ (16/2018), UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Perlindungan Data Pribadi, hingga aturan teknis seperti Peraturan Jaksa Agung No.1/2025 dan Peraturan BSSN No.12/2024.
Baca Juga: IAW Kritik Danantara, Dorong Berbenah dan Tunjukkan Aksi Nyata
"Selama ini publik cuma mendengar jargon ‘digitalisasi keamanan’ atau ‘penguatan intelijen’. Faktanya? Uang rakyat habis triliunan, tapi korban unjuk rasa masih berjatuhan," ujarnya.
Solusi yang ditawarkan IAW mencakup pembentukan Satgas Audit Substantif yang beranggotakan auditor negara dan ahli forensik digital independen. Mereka bertugas mengevaluasi efektivitas perangkat secara langsung dan menyusun laporan yang bisa diakses publik dalam bentuk ringkasan.
Selain itu, pusat komando intelijen juga harus dibenahi agar mampu membaca situasi massa secara real-time, mendeteksi potensi provokasi, dan menerapkan metode de-eskalasi. Operator alat wajib tersertifikasi agar sistem benar-benar bisa digunakan saat krisis.
“Uang rakyat seharusnya membiayai keamanan dan demokrasi, bukan membeli alat yang kemudian jadi membungkam suara rakyat!” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement