Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Potensi Inflow RI Minim Jika The Fed Tak Turun Agresif

Potensi Inflow RI Minim Jika The Fed Tak Turun Agresif Kredit Foto: Uswah Hasanah
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penurunan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang diperkirakan terjadi tiga kali pada Desember, Januari, dan Maret dinilai belum cukup kuat untuk mendorong arus modal signifikan ke pasar keuangan Indonesia. 

Chief Economist Citi Indonesia Helmi Arman menyampaikan bahwa dampaknya sangat bergantung pada pergerakan imbal hasil (yield) US Treasury tenor panjang, terutama surat utang 10 tahun yang menjadi acuan utama investor global.

Menurut Helmi, penurunan suku bunga The Fed pada awal tahun depan diperkirakan masih bersifat dangkal dan belum mengubah pandangan pasar secara substansial.

Baca Juga: Pejabat The Fed Terbelah, Tak Ada Kepastian Soal Pemangkasan Suku Bunga di Desember 2025

“Kalau memang The Fed perkiraannya berhenti di awal tahun depan, maka sulit bagi imbal hasil US Treasury 10 tahun untuk turun secara signifikan, kecuali kalau view-nya berubah menjadi penurunan The Fed yang sustain misalkan ke 2% atau 1%,” ujar Helmi, Selasa (18/11/2025).

Ia menjelaskan, selama narasi penurunannya hanya mencapai kisaran 3%, potensi penurunan yield US Treasury 10 tahun tidak besar. Posisi yield yang bertahan tinggi membuat investor global tetap berhati-hati memasuki negara berkembang. 

“Kalau dia turun lebih banyak, baru mungkin kita bisa melihat appetite yang lebih besar untuk emerging market. Tapi kalau tidak, flow ke emerging market masih akan sangat selektif,” kata dia.

Helmi menambahkan bahwa saat ini preferensi investor global cenderung beralih ke Amerika Latin. Pergerakan modal menunjukkan rotasi keluar dari Asia, sehingga Indonesia diperkirakan belum mendapatkan momentum derasnya capital inflow dalam waktu dekat.

Baca Juga: Ketua The Fed: Belum Tentu Ada Pemangkasan Suku Bunga di Desember

Di luar isu suku bunga, Helmi juga menyoroti regulasi ekspor emas yang diberlakukan pemerintah. Ia menilai kebijakan itu kemungkinan bertujuan mengamankan suplai domestik di tengah gangguan salah satu tambang besar. Namun dampaknya ke pasar emas global belum dihitung secara resmi oleh tim ekonom Citi.

Terkait stabilitas pasar keuangan domestik, Helmi melihat likuiditas perbankan dalam tren meningkat seiring penempatan dana pemerintah dan kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM). Penambahan likuiditas diperkirakan berlanjut tahun depan dan secara bertahap menyebar ke seluruh sistem perbankan, meski hingga awal November pasar obligasi Indonesia masih mencatat outflow karena selisih yield dengan US Treasury semakin ketat.

“Diferensial antara obligasi Indonesia dengan Amerika Serikat semakin ketat, dan di awal November masih terjadi outflow,” jelas Helmi. 

Citibank memperkirakan Bank Indonesia mulai menurunkan suku bunga pada Desember ke 4,5%, lalu ke 4,25% pada Maret, mengikuti perkembangan likuiditas dan kondisi pasar obligasi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: