Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ancaman Bencana Hidrometeorologi Meningkat, Pentingnya Mitigasi Risiko Lewat Asuransi

Ancaman Bencana Hidrometeorologi Meningkat, Pentingnya Mitigasi Risiko Lewat Asuransi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia memasuki fase cuaca ekstrem yang semakin sulit diprediksi, sebagaimana ditunjukkan intensitas bencana hidrometeorologi pada akhir November 2025. Dalam periode 24-27 November, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat serangkaian banjir dan tanah longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh, yang melanda wilayah Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, hingga Langsa. Di Tapanuli Selatan saja, bencana menyebabkan delapan korban jiwa, 58 orang luka-luka, dan 2.851 orang mengungsi.

Puncak gangguan cuaca terjadi pada 26 November 2025 ketika hujan lebat memicu luapan Sungai Bingai, Mencirim, dan Bangkatan di Kota Binjai, Sumatera Utara. Sebanyak 19.349 jiwa atau 5.818 KK dari 21 kelurahan di lima kecamatan terdampak. Sehari kemudian, banjir kembali melanda Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara, akibat peningkatan debit Sungai Padang dan Bahilang yang dipicu hujan ekstrem di wilayah hulu, yakni Kabupaten Simalungun dan Serdang Bedagai.

Rangkaian kejadian ini mengonfirmasi bahwa ancaman hidrometeorologi kian meluas ke wilayah dengan kondisi lingkungan rentan, seperti lereng curam, tanah labil, serta kawasan yang mengalami deforestasi atau pembangunan tanpa mitigasi yang memadai.

Di tengah meningkatnya frekuensi bencana, PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re mencatat banjir sebagai salah satu penyebab klaim terbesar dalam industri asuransi nasional. Data historis menunjukkan fluktuasi nilai retensi bruto (gross retention) dari peristiwa banjir besar: USD 11,77 juta (2007), USD 6,7 juta (2013), naik menjadi USD 13,2 juta (2020), dan tercatat USD 4,32 juta untuk banjir besar pada 2025. Variasi ini mencerminkan besarnya risiko finansial yang ditimbulkan banjir, baik bagi masyarakat maupun industri.

Meski risiko meningkat, kesenjangan pemahaman masyarakat masih besar. Banyak warga menganggap cuaca ekstrem sebagai fenomena musiman belaka, bukan ancaman yang dapat menyebabkan kerugian material signifikan. Direktur Teknik dan Operasi Indonesia Re, Delil Khairat, menekankan perlunya edukasi publik yang lebih intensif, khususnya tentang nilai ekonomis asuransi dan urgensi memahami risiko bencana secara objektif.

“Kolaborasi lintas lembaga juga dinilai krusial, terutama dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan BNPB, untuk menyelaraskan pesan mitigasi risiko dalam kegiatan edukasi kebencanaan nasional,” ujarnya.

Delil juga menyoroti kesalahpahaman umum tentang perlindungan asuransi, termasuk anggapan bahwa kerusakan akibat bencana otomatis tercakup dalam polis standar. Pada kenyataannya, risiko seperti banjir, gempa bumi, dan letusan gunung api termasuk dalam extended perils (perluasan pertanggungan) yang harus secara khusus ditambahkan ke dalam polis dengan premi tambahan sesuai tingkat risiko wilayah.

Ia menambahkan, perbedaan antara kerusakan langsung (misalnya bangunan terendam) dan kerugian tidak langsung (seperti gangguan usaha) juga kerap belum dipahami sepenuhnya oleh pemegang polis.

“Penting bagi industri untuk memberikan penjelasan menyeluruh sejak tahap penawaran, pemasaran, hingga proses klaim agar ekspektasi nasabah selaras dengan cakupan perlindungan yang mereka miliki,” tegasnya.

Sebagai bagian dari upaya memperkuat ketahanan risiko nasional, Indonesia Re terus memperluas kolaborasi dengan pemerintah dan regulator dalam mengembangkan skema pembiayaan risiko bencana. Salah satu inisiatif yang sedang dikaji bersama Kementerian Keuangan, Maipark, dan Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah implementasi asuransi parametrik bencana.

Berbeda dengan asuransi konvensional yang bergantung pada penilaian kerusakan fisik, asuransi parametrik menggunakan indikator objektif—seperti intensitas hujan, kecepatan angin, atau magnitudo gempa—sebagai pemicu pembayaran klaim. Dengan demikian, pencairan dana dapat dilakukan lebih cepat untuk mendukung fase tanggap darurat.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: