Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ini Arah Kebijakan Moneter BI di 2026

Ini Arah Kebijakan Moneter BI di 2026 Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bank Indonesia (BI) memastikan bauran kebijakan tahun 2026 akan tetap diarahkan untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga stabilitas, dalam sinergi erat bauran kebijakan ekonomi nasional.

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan bahwa kebijakan moneter pada tahun 2026 diarahkan untuk menjaga stabilitas (pro-stability) dengan tetap memanfaatkan ruang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (pro-growth).

“Pada tahun 2026, dengan masih tingginya ketidakpastian global, kebijakan moneter tetap pada kesimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan, pro stability and growth,” kata Perry dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2025, Jakarta yang dikutip Rabu (3/12/2025).

Perry menilai, ketidakpastian global yang masih berlangsung merupakan dampak kebijakan tarif AS, geopolitik dunia, fragmentasi ekonomi, tingginya utang negara maju, risiko pasar keuangan global, hingga maraknya perdagangan aset kripto.

Baca Juga: Optimis! Bank Indonesia Paparkan Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Indonesia di 2026-2027

Menurut Perry, situasi tersebut berpotensi menimbulkan volatilitas aliran modal asing serta tekanan terhadap nilai tukar. Untuk itu menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, perumusan kebijakan moneter pada tahun 2026 akan dilakukan secara konsisten, berhati-hati, dan terukur.

Instrumen untuk Mendukung Arah Kebijakan Moneter 2026

Perry menambahkan, arah kebijakan moneter tahun 2026 dalam menjaga stabilitas dan sekaligus ikut mendorong pertumbuhan akan ditempuh dengan empat instrumen pokok.

Pertama, kebijakan suku bunga secara forward-looking dan pre-emptive untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkanpemerintah sekitar 2,5±1%. Sehingga membuka ruang penurunan suku bunga acuan atau BI Rate.

“Dengan terkendalinya inflasi, kami akan mencermati ruang penurunan suku bunga BI Rate lebih lanjut untuk mendorong pertumbuhan,” tuturnya.

Bank sentral sendiri telah menurunkan suku bunga acuan BI-Rate sebanyak 6 kali sebesar 150 basis poin (bps) dari 6,25% pada September 2024 menjadi 4,75% pada September 2025, terendah sejak 2022. BI juga memangkas suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 3,75%.

Selain itu, penurunan BI-Rate telah diikuti penyesuaian secara signifikan suku bunga INDONIA di pasar uang dan yield SBN di seluruh tenor.

Kedua, ekspansi likuiditas moneter dengan strategi operasi moneter pro-market untuk memperkuat efektivitas transmisi penurunan suku bunga BI-Rate ke suku bunga perbankan serta memperdalam pasar uang dan valas. BI juga menyesuaikan struktur suku bunga dan volume instrumen seperti SRBI, SUKBI, SVBI, dan SUVBI.

Pada tahun 2025, ekspansi likuiditas moneter hingga November 2025 tercermin pada penurunan volume SRBI sebesar Rp217,67 triliun dengan penurunan suku bunga SRBI untuk tenor 6 bulan sebesar 254 bps menjadi 4,62%.

Ekspansi likuiditas moneter juga ditempuh melalui pembelian SBN dari pasar sekunder. Pada tahun 2025, hingga 18 November 2025, BI telah membeli SBN sebesar Rp289,91 triliun, dengan yield SBN tenor 2 dan 10 tahun menurun sebesar 226 bps dan 113 bps menjadi 4,70% dan 6,13%, dan membantu penurunan beban bunga SBN dalam APBN Pemerintah.

Bank Indonesia juga akan terus mengoptimalkan strategi operasi moneter pro-market dengan optimalisasi repo dan DNDF menggunakan Central Counterparty (CCP), pengembangan Overnight Index Swap (OIS) market melaluipenerbitan Floating Rate Note (BI-FRN), perluasan underlying Repo dengan surat berharga berkualitas tinggi lainnya yang diterbitkan oleh lembaga jasa keuangan yang dibentuk/didirikan Pemerintah dan perluasan investor Sukuk Bank Indonesia (SUKBI) untuk dapat dimiliki oleh bank dan nonbank, termasuk penduduk dan bukan penduduk.

Ketiga, kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah untuk menjaga stabilitas eksternal perekonomian Indonesia dari dampak rambatan ketidakpastian global. Tingginya ketidakpastian di perekonomian dan pasar keuangan global meningkatkan risiko aliran keluar investasi portofolio dari negara-negara EMEs serta menekan berbagai mata uang dunia, termasuk Rupiah.

Untuk itu, kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah akan dilanjutkan di 2026 melalui intervensi valuta asing, baik di pasar luar negeri (offshore NDF) maupun di pasar domestik (secara spot, DNDF, dan transaksi SBN di pasar sekunder).

Keempat, pengelolaan cadangan devisa diperkuat melalui Strategic Asset Allocation (SAA), penempatan aset berisiko rendah, pembelian emas secara bertahap, serta perluasan instrumen penempatan valas dari Devisa Hasil Ekspor (DHE) SDA.

Sementara itu, kerja sama bilateral dengan sejumlah bank sentral, termasuk dengan Malaysia, India, dan Tiongkok, dijalin untuk pemanfaatan kerja sama swap dan pembelian SBN secara bilateral dalam pengelolaan cadangan devisa.

Baca Juga: Bank Indonesia Proyeksi Ekonomi RI Tumbuh Kisaran 4,7–5,5% di 2025

Demikian pula kerja sama internasional juga dipererat, baik secara multilateral dengan Bank for International Settlements (BIS) untuk pengelolaan devisa, kerja sama swap secara bilateral dengan sejumlah bank sentral termasuk AS, Jepang, Tiongkok, dan ASEAN, maupun kerjasama secara regional dengan ASEAN+3 (Jepang, Korea Selatan) dalam kerangka Chiang Mai Initiative Multilateralism (CMIM) untuk penguatan Regional Financial Arrangement (RFA) di Asia.

Lebih lanjut, Perry menegaskan bahwa koordinasi antara kebijakan moneter BI dan fiskal pemerintah akan diperkuat.

“Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi moneter dengan kebijakan fiskal Pemerintah untuk pencapaian sasaran inflasi, stabilitas makroekonomi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berdaya tahan,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cita Auliana
Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: